Text
Representasi perempuan dalam kebijakan publik di era otonomi daerah
Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999 telah memberi kewenangan pada pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan politik dan pengaturan keuangan. Menimbang kebutuhan pengarusutamaan gender dalam kebijakan lokal, pemerintah Republik Indonesia telah membuat peraturan hukum dan menyertakan pentingnya pengarusutamaan gender dalam GBHN 1999. Penelitian adalah langkah awal untuk mengevaluasi implementasi pengarus-utamaan gender dalam peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah. Penelitian ini merupakan analisis tekstual tentang peraturan daerah yang dibuat oleh sembilan pemerintah daerah di Sukabumi, Tasikmalaya, Solok, Mataram, Nanggroe Aceh Darussalam, Gianyar, Kupang, Kendari, Samarinda dan Kutai Barat.
Penelitian Representasi Perempuan dalam Kebijakan Publik dalam Era Otonomi Daerah (Studi Kasus di Sepuluh Daerah di Indonesia) ini menggunakan pendekatan kualitatif berperspektif feminis dalam analisis tekstual. Peraturan daerah yang dikumpulkan selama penelitian dibaca dan dianalisis dengan perspektif feminis untuk menguji asumsi netralitas gender dalam peraturan ini. Pembacaan tekstual dengan pendekatan teori kritis merupakan alat analisis yang dibutuhkan untuk melihat penggunaan bahasa oleh pemerintahan daerah dan mengidentifikasi pemetaan kekuasaan dalam strukturnya, terutama penyertaan atau peminggiran kepentingan dan isu-isu kelompok yang terpinggirkan oleh kelompok dominan. Dengan menggunakan paradigma feminis, fokus penelitian ini adalah pada penyertaan atau peminggiran kepentingan perempuan oleh pemerintahan yang maskulin.Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa meskipun ada pemerintah daerah yang telah menyadari
permasalahan ketidaksetaraan dan diskriminasi gender, serta merespon dengan rumusan kebijakan, permasalahannya terletak pada definisi representasi dan peran perempuan di tiap daerah. Pembacaan atas peraturan daerah menunjukkan bahwa tidak ada larangan ataupun peraturan khusus yang menjamin partisipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan daerah. Peran perempuan secara tradisional didefinisikan sebagai peran domestik dan dibatasi pada peran sebagai ibu dan pengurus rumah tangga, sehingga kebijakan yang dibuat terfokus pada pelatihan dan penyediaan alat untuk melatih perempuan dalam kegiatan rumah tangga seperti memasak, menjahit dan kesejahteraan keluarga. Pernyataan ini bukan untuk menyatakan bahwa kerja rumah tangga kurang penting dibandingkan kegiatan publik, ada isu-isu penting seputar peran ibu dan rumah tangga seperti kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Akan tetapi perlu ada perluasan pilihan peran perempuan, termasuk peraturan untuk mendorong perempuan agar terlibat dalam aktivitas publik dan memastikan bahwa peraturan daerah mampu mengakomodir berbagai dimensi peran perempuan dalam kehidupan dan menyediakan pelayanan dan perlindungan yang diperlukan. Representasi dan peran perempuan perlu didefinisikan kembali untuk membuat produk legal yang bukan sekedar menyentuh dimensi pengaturannya saja, tetapi juga mengatur penyediaan anggaran yang diperlukan, sehingga kondisi ini pada akhirnya diharapkan mampu mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan.
KP.II.000352 | KP.II NOE r | My Library | Available |
KP.II.000352-01 | KP.II NOE r | My Library | Available |
No other version available