Text
Perempuan dalam pasungan : bias laki-laki dalam penafsiran
Pembongkaran terhadap penafsiran yang cenderung mendiskreditkan perempuan adalah sesuatu yang niscaya karena perempuan bukanlah mahluk nomor dua yang keberadaannya hanya sekedar sebagai pelengkap kaum laki-laki. Buku ini berusaha mengupas pembongkaran terhadap penafsiran yang cenderung mendiskreditkan perempuan adalah sesuatu yang niscaya karena perempuan bukanlah makhluk nomor dua yang keberadaanya hanya sekedar sebagai pelengkap kaum laki-laki. Bergerak atau terinjak, berubah atau punah! Bisa jadi dua kalimat itu pantas menggambarkan semangat isi buku ini. Tidak percaya? Perhatikan saja huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, begitu rapi dalam mengupas tuntas persoalan perempuan. Bahkan lebih dari itu, lembar demi lembar disajikan runut dan sederhana, sehingga enak dibaca. Buku yang mengambil ide pokok tentang keperempuanan ini didasari dari kajian kritis atas al-Qur'an surat An-Nisa. Meski hadirnya buku ini merupakan karya disertasi penulis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, namun tidak membuat buku ini tidak layak dikonsumsi, justru sebaliknya
Buku ini sejatinya membongkar ulang kajian-kajian tafsir yang selama ini berkembang di tengah masyarakat, yang dinilai memasung kaum perempuan. Pasalnya, banyak dijumpai penafsir-penafsir terdahulu (khususnya terkait dengan ayat perempuan maupun hadis-hadis misogini) yang subjektif. Makanya tak heran jika dalam menguraikan tiap bahasan kerap kali mengutip pernyataan (baca: tafsiran) mufasir sebelumnya, baru penulis memberikan argumen atau penafsirannya.
Layaknya buku-buku lain yang dihasilkan dari disertasi, buku ini mempunyai kelebihan tersendiri, yakni banyaknya kajian pustaka dan banyak analisis dari para penafsir terdahulunya. Tidak hanya itu, cara penyajian buku ini sangat komprehensif. Pembaca dapat menemukan cara pandang beda, tidak hanya pembaca dari sudut lintas agama saja, banyak hal dipaparkan dari sisi konteks sosio-kultur, historis, dll
Adapun ruang lingkup bahasan dalam buku ini ada empat bahasan besar. Pertama, asal kejadian perempuan (QS. An-Nisa/4: 1). Penafsiran klasik yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam rupanya menjadi pembahasan serius bagi penulis yang dilahirkan di Krueng Panjoe, Aceh. Menurutnya, ayat tersebut masih umum, terbuka lebar untuk didiskusikan kembali. Sementara kalangan mufasir saja masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud "diri yang satu" (nafs wahidah), siapa yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir) "dirinya" (minha), dan apa yang dimaksud dengan "pasangan" (zaujaha) dalam ayat tersebut. Misalnya, Fakhruddin ar-Razy dalam Tafsir al-kabir, ia mengutip pendapat Abu Muslim al-Asfahani yang mengatakan dhamir "ha" pada kata "minha" bukan "dari bagian (tulang rusuk) adam," melainkan "dari jenis Adam" (minjinsiha), hal. 240 & 254.
Kedua, Kepemimpinan dalam rumah tangga (QS. An-Nisa/4: 34). Pada pembahasan ini, pembaca diajak menyelami lebih jauh tentang kepemimpinan perempuan, terutama pada penafsiran ulama yang menempatkan kaum perempuan lebih rendah dari pada kaum laki-laki. Begitu juga peran perempuan di dalam sebuah kepemimpinan dipentas publik. Padahal, an-Nisa ayat 34: "ar-rijalu qowwamuna 'ala an-nisa" ini diturunkan dalam konteks keluarga sehingga tidak dapat dipakai dalam konteks negara (hal. 10). Dalam hal ini penulis banyak mengadopsi pendapat Nasaruddin Ummar dan pendapat mufasir lain seperti, ath-Thabari, ar-Razi, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Tidak ketinggalan pendapat feminis muslim, seperti Asghar Ali Engineer dan Amina Wadud Muhsin. Menurut penulis, kata qowwam ini terletak pada penilaian terhadap kelebihan atau keunggulan laki-laki. Bahkan al-Qur'an pun tidak menyebutkan secara ekplisit apa keunggulan laki-laki atas perempuan, maka penafsirannya pun wajar kalau beragam dan kontroversial. Sebut saja, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang mengemukakan kelebihan laki-laki terperinci, yang intinya pada kelebihan fisik, intelektual, dan agama. Ayat tersebut hanya berlaku pada lingkup keluarga bukan untuk urusan pemerintahan. Sedangkan pandangan feminis, seperti Asghar Ali Engineer dan Amina Wadud berpendapat bahwa keunggulan laki-laki hanya pada keunggulan fungsional saja.Ketiga, mengupas formula warisan (QS. An-Nisa/4: 11). Para mufasir dan feminis muslim sepakat bahwa formula kewarisan 2:1 (bagian anak laki-laki dua bagian anak perempuan) tidaklah bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Formula ini berdasarkan asas keadilan berimbang antara hak dan kewajiban. Di sinilah letak kesetaraan dan keadilan, keadilan tidak berarti semua harus persis sama dalam aspek hukum, karena faktor-faktor perbedaan fungsi, status sosial-ekonomi, hak dan kewajiban menjadi pertimbangan lain. (h. 285).Dan keempat, Poligami (QS. An-Nisa/4: 3). Menurutnya, metode tafsir yang dominan dalam sejarah intelektual Islam adalah metode tahlili (analitis) dan lebih banyak menggunakan pendekatan tekstual, sehingga penafsiran ayat-ayat yang terkait dengan perempuan tidak lepas dari tradisi Timur Tengah, di mana kalangan mufasir hidup dan berinteraksi sosial. Membaca buku ini, secara tidak langsung pembaca dilihatkan pada kelemahan-kelemahan penafsir klasik dan modern yang—cenderung—terjebak pada gaya penafsiran tekstual dan arogan. Misalnya, penafsiran ayat poligami yang selama ini dipahami kaum lelaki bebas menikahi perempuan lebih dari satu. Ternyata kini realitasnya hanya sebagai budak hawa nafsu belaka (sex oriented), sedangkan nilai-nilai untuk menyantuni yatim piatu kandas oleh gelombang nafsu. Makanya, pendekatan tafsir terbaru (metode maudhu'I) harus menjadi pegangan bagi mufasir. Di mana tafsir ini menggunakan metode penafsiran secara tematis dan cenderung memperhatikan pendekatan semantik dan hermeneutik, lebih memungkinkan untuk menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Anjuran al-Qur'an tentang poligami ternyata kini telah disalah-artikan. Terakhir, penulis yang merupakan dosen tafsir di Fakultas Adab IAIN ar-Raniri Aceh ini, ingin mengajak pembaca menyelami lebih jauh permasalahan perempuan yang terbilang klasik, tetapi belum mendapatkan titik temunya. Dengan begitu diharapkan para mufasir dan pejuang perempuan untuk menelaah lebih lanjut tafsiran yang ada. Pasalnya, banyak hal yang belum tersingkap di balik ayat-ayat al-Qur'an. Mulai dari penafsiran yang parsial, penafsiran yang subjektif (bias), masih berada dalam cengkraman ideologi patriaki dan kepentingan kekuasaan Tegasnya, penelitian terhadap teks-teks suci al-Qur'an maupun Sunah Nabi bahwa syariat Islam dibangun untuk kepentingan umat manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan, keadilan, dan kebijaksanaan. Prinsip-prinsip ini harus menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan fiqh. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran ahli fiqh ketika memutuskan kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini, berarti juga menyalahi cita-cita syariat Islam yang paling tinggi, karena kemaslahatan merupakan basis dan tujuan utama syariat Islam itu sendiri.
KP.II-00112-3 | KP.II NUR P | My Library | Available |
KP.Ii-00112-1 | KP.II NUR P | My Library | Available |
No other version available