Text
Sejarah keberadaan organisasi buruh di Indonesia
Serikat buruh adalah satu dari sedikit lembaga sosial yang secara potensial mampu mendorong peningkatan kesetaraan dan keadilan sosial, khususnya melalui peran yang mereka mainkan dalam mengorganisir kekuatan kolektif serta strategi yang mereka terapkan di dalam suasana demokrasi sebagai kekuatan pengimbang dari kapitalisme. Demokrasi memang syarat mutlak keberadaan organisasi kaum buruh memperjuangkan kepentingannya ini, dan banyak pengalaman sejarah menunjukkan bahwa mereka ini pula yang mampu membawa suasana yang lebih berkeadilan di masyarakat, yang tidak hanya dinikmati dirinya sendiri tetapi juga masyarakatnya, dan karenanya menjadikan mereka bagian dari pejuang demokrasi yang konsisten.
Meskipun perjuangan serikat buruh melalui berbagai macam pola strategi dan gerakan mengalami pasang surut, kalau mampu dikelola dan berlangsung secara baik, menimbulkan optimisme dapat melahirkan berbagai kebijakan sosial yang berdampak positif secara luas seperti jaminan sosial maupun sistem pengupahan yang adil. Hal ini sebagai bentuk sumbangan serikat buruh tidak hanya kepada anggota dan keluarganya namun juga masyarakat secara umum. Oleh sebab itu, dibawah ini akan dibahas sejarah gerakan buruh di Indonesia dari zaman kolonial sampai reformasi, dan usahanya memberikan kontribusi positif memberikan pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sosial.
Zaman Kolonial
Pada zaman colonial, buruh adalah sebutan untuk sekelompok masyarakat di koloni yang termasuk kaum pekerja, kuli, petani, pegawai Pemerintah, buruh kereta api, perkebunan, pertambangan, industri, jasa, pelabuhan, dan sebagainya. Gerakan-gerakan protes dari kaum petani yang muncul untuk menuntut perbaikan kesejahteraan, kemudian memberikan inspirasi kepada kaum buruh untuk menggalang kekuatan secara kolektif, yang diinisiasi oleh buruh yang bekerja di perusahaan kereta api menuntut perbaikan kondisi kerja.
Perekonomian di zaman kolonial, sebagian besar pekerjaan menuntut tenaga-tenaga fisik yang kuat dan sedikit keterampilan. Oleh karena itu banyak penduduk khususnya di perkotaan yang bekerja sebagai buruh dengan upah harian atau per-jam yang sangat rendah, tanpa jaminan pekerjaan yang mengakibatkan buruh harus terus berpindah pekerjaan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya.
Sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk masyarakat Eropa, atau untuk tingkat yang lebih rendah, bagi orang-orang Indonesia atau orang-orang Cina yang kaya, dimana mereka diikat dalam perjanjian dengan upah yang tidak tetap atau kontrak kerja. Sensus tahun 1930, sensus paling teliti di antara sensus-sensus lainnya, menghitung bahwa antara 30%-40% buruh Pribumi di Batavia, Semarang, Surabaya, dan Bandung bekerja sebagai buruh dengan upah harian atau sebagai pembantu rumah tangga.
Serikat Buruh pertama di Jawa dibentuk pada 1905 dalam Perusahaan Kereta Api, tetapi serikat buruh ini dan serikat-serikat buruh lainnya berada dibawah kendali Eropa dan hanya merekrut sejumlah kecil buruh Pribumi.[5] Serikat Buruh mulai banyak terbentuk dan meluas pada tahun 1910-an segera setelah Perang Dunia I ketika serikat-serikat buruh tersebut melakukan gelombang pemogokan yang berkesinambungan dan cukup berhasil sampai 1921.
Pada tahun 1920 telah tercatat bahwa ada sekitar 100 serikat buruh dengan 100.000 anggota. Hal ini tidak terlepas upaya propaganda yang dilakukan oleh aktivis buruh dengan berbagai macam cara seperti pamflet, sura kabar, dan selebaran. Peningkatan jumlah buruh upahan di perkotaan yang terus meluas, dan sadar akan kondisi eksploitatif tempat mereka bekerja dan hidup, serta mulai percaya bahwa mungkin mereka mampu melakukan perbaikan. Pada zaman itu, serikat buruh sudah secara aktif dalam usaha kerasnya meningkatkan upah dan juga memperbaiki kondisi kerja bagi para anggota, melalui berbagai cara salah satunya adalah pemogokan.
Zaman Kemerdekaan
Di Indonesia, khususnya jelang dan setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945, serikat buruh menjadi organisasi sosial yang penting karena keterlibatan mereka di dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankannya. Ini mendorong lahirnya berbagai undang-undang dan peraturan yang amat melindungi buruh justeru ketika Indonesia belum sepenuhnya merdeka, seperti UU No. 33/1947 tentang Kecelakaan Kerja yang merupakan undang-undang pertama hasil karya pemerintah Indonesia, disusul dengan UU No. 12/1948 tentang Kerja yang berisi berbagai ketentuan yang amat maju pada masanya untuk perlindungan buruh, seperti waktu kerja delapan jam sehari, hak cuti haid bagi buruh perempuan dan lain-lain
KP X.000095 | KP X DJU s | My Library | Available |
No other version available