Text
Setelah Otoritarianisme Berlalu: Esai-esai Keadilan di masa Transisi
Ketika masa-masa rezim otoritarian atau perang saudara berlalu, negara dan rakyatnya seolah berdiri di simpang jalan. Masa yang berlalu itu sarat dengan kisah tragis dan horor. Sejarahnya bergelimang darah korban, pelaku yang haus darah, mayat-mayat yang dikuburkan entah di mana, ketakutan yang mencekam, dan arogansi penguasa. Terhadap semua itu, apakah yang bisa dilakukan? Bongkar atau biarkan berlalu begitu saja? Atau, mengakui dan meminta maaf? Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang hidup dalam suasana saling bermusuhan, yang sejarahnya adalah sejarah kekerasan dan luka, disatupadukan dan direkonsiliasikan? Apa yang mesti dilakukan terhadap ratusan bahkan ribuan pelaku tindak kekerasan masa lalu itu yang tetap bebas berkeliaran dengan santainya? Dan bagaimana pula sebuah pemerintahan yang baru yang menggantikan rezim sebelumnya yang otoriter mencegah terulangnya kekejaman itu di masa depan? masyarakat sebagai satu keutuhan harus menemukan jalan keluar untuk meneruskan geliat kehidupan, mencipta ulang ruang nasional yang damai dan layak dihuni, membangun semangat dan upaya rekonsiliasi dengan para musuh masa lampau, dan mengurung kekejaman masa lampau dalam sangkar masa lampaunya sendiri. Paragraf di atas adalah kutipan dari buku Priscilla B. Hayner yang berjudul Unspeakable Truths: Confronting State Terror and Atrocity (New York: Routledge, 2001: hlm. 4). Adapun buku yang sedang Anda baca ini juga berasal dari pengarang yang sama. Bedanya, buku yang disebutkan di atas adalah sebuah buku utuh, sedangkan buku ini merupakan kumpulan esai, makalah, artikel yang ditulis Hayner selama perjalanan karyanya menggeluti masalah hak asasi manusia. (Sebagaimana tertulis dalam keterangan tentang penulis dalam buku yang disebutkan di atas, Hayner telah menggeluti ide, gagasan, konsep dan permasalahan menyangkut komisi kebenaran selama hampir satu dekade penuh. Ia mendiskusikan masalah komisi kebenaran dan rekonsiliasi dengan berbagai pemerintahan dan organisasi di seluruh dunia, termasuk dengan PBB dan Ford Foundation. Belakangan ia menggeluti hal yang sama di Sierra Leone, Timor Timur, dan Indonesia.) Sebagai sebuah kompilasi atau antologi esai, buku ini tentunya tidak bisa menghindari pengulangan-pengulangan kecil di sana sini. Namun demikian, kelemahan ini justru bisa menjadi kekuatan laksana irama musik atau bunyi sajak yang berulang-ulang dalam harmoni. Artinya, ada penegasan terhadap pesan yang mau disampaikan. Kendati demikian, dalam penyajiannya sebagai sebuah buku, kami telah berupaya menjalin dan merangkainya seolah-olah tengah menulis sebuah buku utuh. Ada sistematika dan alur atau logika dalam penyusunannya. Maka, izinkan kami mempertanggungjawabkan sistematika penyajian tersebut, yang dengan demikian sekaligus juga menggambarkan poin-poin penting dari setiap bab atau tulisan di dalamnya. Itu tidak berarti bahwa pembaca terikat untuk menikmatinya berdasarkan urutan yang telah kami buat. Esai-esai dalam buku ini adalah tulisan utuh, sehingga bisa dinikmati sesuai pilihan pembaca tanpa perlu mengikuti urutan babnya. Kalau toh kami iimenawarkan salah satu cara menikmatinya, itu memang tidak lebih dari sekadar sebuah cara. Sebagaimana dikatakan Hayner dalam kutipan di atas, apakah yang harus dan bisa kita lakukan dalam menghadapi warisan kekerasan masa lalu? Bagaimana kita bisa menyelesaikannya jika masa lalu itu ternyata diliputi kabut hitam? Maka, langkah pertama yang diangkat adalah pencarian kebenaran. Mengacu pada Jrgen Habermas, kebenaran yang kita maksudkan tentunya adalah kebenaran yang meliputi tiga aspek, yaitu kebenaran faktual, normatif, dan kebenaran yang menjadi kebenaran jika dinyatakan dengan cara yang benar pula. Di sinilah ide tentang komisi kebenaran menemukan urgensitasnya sekaligus signifikansinya, sebuah komisi yang diserahi tanggung jawab dan kekuasaan khusus untuk melakukan berbagai upaya entah dengan investigasi, riset, wawancara, maupun public hearing, dsb., demi mendapatkan kebenaran tentang berbagai peristiwa dan kejadian masa lampau yang sebelumnya ditutup-tutupi dengan tirai hitam rezim otoritarian. Inilah yang menjadi pesan utama dalam bab 1, Menghadapi Warisan Kekerasan: Sumbangan Komisi Kebenaran, dari buku ini. Komisi kebenaran adalah sebuah jalan keluar alternatif, bukan satu-satunya. Harus kita akui itu. Sebagai salah satu tawaran, ia tidak luput dari kekurangan potensial. Oleh karena itu, sebelum ia diterjunkan pada aras praktek, sebelumnya perlu ditanyakan: apakah ia justru mendatangkan konflik baru? Bagaimanapun juga, komisi ini hadir di antara dua tegangan: pihak yang bersikukuh mempertahankan kebohongan sejarah dan pihak yang berambisi membongkar penipuan masa lalu. Keduanya memiliki alasan masing-masing yang bisa logis bisa tidak. Menyadari ini sejak awal akan membuat kita awas dan cermat dalam merumuskan tugas dan wewenang komisi kebenaran, terutama dalam masa transisi berikut segala karakteristik khas periode transisional yang merupakan wilayah abu-abu. Tentang kecemasan ini diuraikan dalam karangan bab 2, Menggali Masa Lalu: Apakah Komisi Kebenaran Dapat Menyebabkan Konflik. Bab 3, Memperjuangkan Keadilan dan Rekonsiliasi, Sumbangan Komisi Kebenaran kembali menegaskan misi utama pembentukan komisi ini yaitu demi tegaknya keadilan. Keadilan berdasarkan kebenaran
KP.XXI-00030 | KP.XXI PRI S | My Library | Available |
No other version available