Text
Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi: Setangkai Kesaksian Sosok A. E P riyono
Sebagai catatan kritis, Menolak Matinya Intelektualisme dan satu buku lain yang diterbitkan bersamaan oleh penerbit yang sama—Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi: Setangkai Kesaksian Sosok AE Priyono—terlalu banyak memuat kenangan pribadi teman-teman dekat Priyono. Hanya ada sembilan tulisan Priyono yang bisa pembaca nikmati di dalamnya, padahal tulisannya, baik itu sebagai artikel di koran, situs web, maupun sebagai pengantar atas buku yang dia sunting, cukup banyak.
Di antara tulisan teman-teman Priyono, tak banyak yang mencoba mengulas pemikirannya secara kritis. Dari yang sedikit itu, tulisan Coen Husain Pontoh, Darmawan Triwibowo, dan terutama Yudi Latif bisa menambal kekurangan tersebut.
Jika membaca pemikirannya dalam sembilan tulisan dalam buku ini, Priyono tampak pemikir yang konsisten. Dia selalu tak alpa mengungkap kecemasan akan hilangnya nalar publik dan bahkan publik (demos) itu sendiri dalam demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang semestinya emansipatoris dan melibatkan partisipasi publik kini cuma demokrasi prosedural elitis yang anti-publik. Pemikirannya seakan merefleksikan kekhawatiran Socrates akan tersingkirnya para filsuf (intelektual) dari gelanggang publik, yang kemudian digantikan oleh para demagog (pemburu popularitas).
Priyono memandang publik dan ruang publik telah dibajak oleh tiga kepandiran sekaligus: oikos (politik dinasti; elitisme), idios (privatisme), dan etnos (primordialisme). Dengan kata lain, tiga kekuatan pembajak demokrasi adalah oligarki politik, oligarki bisnis, dan oligarki keagamaan. Tiga kekuatan ini tak mesti tersekat-sekat. Mereka bisa jadi politisi, pemilik kapital, dan agawaman sekaligus.
KP XXI 0038 | 320 WID P | Perpustakaan Komnas Perempuan (Perpustakaan Komnas Perempuan) | Available |
No other version available