Text
Menolak Matinya Intelektualisme: Jejak Perjalanan dan Pemikiran A. E. Priyono
AE Priyono meninggal dunia pada 12 April 2020. Ia mewariskan jejak panjang intelektualisme sejak 1980-an. Kalangan aktivis dan peneliti bisa dikatakan pasti mengenal namanya.
Sebagai editor, prestasi Priyono yang kerap disebut-sebut oleh banyak orang adalah keberhasilannya mengangkat pemikiran sastrawan-akademisi Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi pada 1991. Buku ini dan banyak buku serta hasil riset yang disunting dan dianotasi Priyono saat ia bekerja di LP3ES dan sejumlah lembaga lain ikut mewarnai dan menemani upaya para aktivis dan intelektual mengembangkan demokrasi dan masyarakat sipil di Indonesia.
Sebagai catatan kritis, Menolak Matinya Intelektualisme dan satu buku lain yang diterbitkan bersamaan oleh penerbit yang sama—Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi: Setangkai Kesaksian Sosok AE Priyono—terlalu banyak memuat kenangan pribadi teman-teman dekat Priyono. Hanya ada sembilan tulisan Priyono yang bisa pembaca nikmati di dalamnya, padahal tulisannya, baik itu sebagai artikel di koran, situs web, maupun sebagai pengantar atas buku yang dia sunting, cukup banyak.
Di antara tulisan teman-teman Priyono, tak banyak yang mencoba mengulas pemikirannya secara kritis. Dari yang sedikit itu, tulisan Coen Husain Pontoh, Darmawan Triwibowo, dan terutama Yudi Latif bisa menambal kekurangan tersebut.
Jika membaca pemikirannya dalam sembilan tulisan dalam buku ini, Priyono tampak pemikir yang konsisten. Dia selalu tak alpa mengungkap kecemasan akan hilangnya nalar publik dan bahkan publik (demos) itu sendiri dalam demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang semestinya emansipatoris dan melibatkan partisipasi publik kini cuma demokrasi prosedural elitis yang anti-publik. Pemikirannya seakan merefleksikan kekhawatiran Socrates akan tersingkirnya para filsuf (intelektual) dari gelanggang publik, yang kemudian digantikan oleh para demagog (pemburu popularitas).
Priyono memandang publik dan ruang publik telah dibajak oleh tiga kepandiran sekaligus: oikos (politik dinasti; elitisme), idios (privatisme), dan etnos (primordialisme). Dengan kata lain, tiga kekuatan pembajak demokrasi adalah oligarki politik, oligarki bisnis, dan oligarki keagamaan. Tiga kekuatan ini tak mesti tersekat-sekat. Mereka bisa jadi politisi, pemilik kapital, dan agawaman sekaligus.
Bagaimana bisa primordialisme atau terutama konservatisme bergandengan tangan dengan elitisme dan privatisme di alam demokrasi liberal? Priyono tak membahas persoalan ini.
Namun, jika menggunakan kacamata analisis Priyono tentang publik dan privat, kita sebenarnya bisa melihat bahwa liberalisme memiliki irisan kepentingan dengan konservatisme. Liberalisme menolak keterlibatan negara dalam urusan publik dan privat. Konservatisme menuntut keterlibatan negara dalam urusan privat tapi tak peduli apakah negara terlibat dalam urusan publik. Jadi, keduanya cuma bertengkar dalam hal-hal privat, dan bukan dalam urusan publik.
KP XXI 0037 | 920.05 Ham M | Perpustakaan Komnas Perempuan (Perpustakaan Komnas Perempuan) | Available |
KP XXI 0036 | 920.05 Ham M | Perpustakaan Komnas Perempuan (Perpustakaan Komnas Perempuan) | Available |
No other version available