Text
Kuasa wanita Jawa
Kesenjangan antara kuasa formal dan nonformal inilah yang dibahas dalam 'Kuasa Wanita Jawa'. Mengacu pada sejumlah tokoh-tokoh dalam karya sastra seperti Nyai Ontosoroh dan Ken Dedes, berikut berbagai cuplikan curhat istri-istri Jawa, buku ini secara apik menggambarkan kepiawaian wanita Jawa menarik benang di balik kehidupan politik suaminya. Melalui paparan konteks yang gemuk dengan narasi budaya dan sistem kepercayaan masyarakat Jawa, gerak-gerik yang kerap dinilai 'pasif-agresif' itu memperoleh pemaknaan baru menjadi perilaku spiritual. Di sisi lain, kelokalan buku ini menjadi respon budaya tandingan bagi kaum feminis yang percaya pada revolusi struktural sebagai jawaban untuk memperbaiki harkat hidup wanita. Layaknya Nyai Ontosoroh yang memilih untuk belajar dari Tuan Mellema ketimbang marah-marah pada masyarakat yang melekatkan status 'Nyai' padanya, juga Ken Dedes yang menyelami kuasanya sebagai permaisuri alih-alih terus mengutuki Tunggul Ametung yang tengah menculiknya, kita belajar bagaimana seseorang dapat beroleh kemenangan tanpa perlu mengalahkan. Fenomena Ivanka Trump yang membayangi kemenangan capres 'underdog' di Amerika Serikat memang belum terjadi ketika buku ini ditulis. Namun, bagi generasi yang tidak merasakan langsung realita Orde Baru, mungkin itulah situasi teranyar yang mendekati gambaran kekuasaan Ibu Tien Soeharto di rezim Presiden Soeharto. Tanpa bermodal posisi formal dalam pemerintahan, ia berhasil mengusahakan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah di tengah situasi ekonomi yang mencekik. Semata, karena keteguhan hati seorang Ibu negara.
Kesenjangan antara kuasa formal dan nonformal inilah yang dibahas dalam 'Kuasa Wanita Jawa'. Mengacu pada sejumlah tokoh-tokoh dalam karya sastra seperti Nyai Ontosoroh dan Ken Dedes, berikut berbagai cuplikan curhat istri-istri Jawa, buku ini secara apik menggambarkan kepiawaian wanita Jawa menarik benang di balik kehidupan politik suaminya. Melalui paparan konteks yang gemuk dengan narasi budaya dan sistem kepercayaan masyarakat Jawa, gerak-gerik yang kerap dinilai 'pasif-agresif' itu memperoleh pemaknaan baru menjadi perilaku spiritual.
Di sisi lain, kelokalan buku ini menjadi respon budaya tandingan bagi kaum feminis yang percaya pada revolusi struktural sebagai jawaban untuk memperbaiki harkat hidup wanita. Layaknya Nyai Ontosoroh yang memilih untuk belajar dari Tuan Mellema ketimbang marah-marah pada masyarakat yang melekatkan status 'Nyai' padanya, juga Ken Dedes yang menyelami kuasanya sebagai permaisuri alih-alih terus mengutuki Tunggul Ametung yang tengah menculiknya, kita belajar bagaimana seseorang dapat beroleh kemenangan tanpa perlu mengalahkan.
KP.II-00125-3 | KP.II NOV k | My Library | Available |
KP.II-00125-2 | KP.II NOV k | My Library | Available |
KP.II-00125-1 | KP.II NOV k | My Library | Available |
KP.II-00125-4 | KP.II NOV k | My Library | Available |
No other version available