Text
Civis: Salahkah Kita Berbeda?: Menengok Kemajemukan Budaya Kita
Keberagaman budaya Indonesia adalah kekayaan yang luar biasa. Negara-negara lain mengangkat kekayaan budaya mereka sebagai aset dan identitas bangsa. Justru kita kurang mengelolanya, bahkan tidak sedikit yang memaksakan “satu warna” budaya sesuai definisi pribadinya.
Dalam edisi kali ini, budayawan I Nyoman Nuarta dan Damien Dematra menyuarakan keprihatinannya. Kadang “kemajemukan” dianggap fenomena modernisasi yang berbahaya.
Padahal, kemajemukan ialah realita kita sejak berdirinya bangsa ini. Contohnya, peserta Kongres Pemuda 1928. Ada Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, dll. Tapi dengan jiwa besar mereka
menyepakati satu tanah air, bangsa, dan bahasa persatuan.
Dalam semangat serupa yang melampaui kepentingan primordial demi kepentingan bersama, Andreas Yewangoe mengajak kita menggali nilai-nilai agama untuk menciptakan matrix of meaning,
nilai-nilai yang dapat diterima dan diperjuangkan bersama oleh masyarakat. Sayangnya, upaya masyarakat (grassroot) untuk menjalin kebersamaan di tengah kemajemukan ini seringkali dirusak
oleh campur tangan elite kekuasaan (formal maupun informal) demi kepentingan politik atau ekonomi mereka, seperti pengalaman konflik Maluku dan sejarah masyarakat Tionghoa dalam edisi ini. Oleh karena itu, negara berkewajiban memajukan kebudayaan Indonesia yang menghargai kemajemukan kita. Amandemen Konstitusi telah mempertegas mandat ini, sebagaimana dijelaskan artikel Jakob Tobing. Tulisan Daisy Yasmine dan Tobias Basuki mencoba menelusuri peran negara melalui kebijakan publik yang selaras dengan itu.
Indonesia lahir dengan keberagaman budaya. Tanpa itu, tidak ada Indonesia. Maka marilah kita belajar melukis bersama taman bunga yang berwarna warni di satu kanvas, yaitu Indonesia.Hasilnya adalah masterpiece untuk Anda, saya, dan generasi selanjutnya.
KP XVIII 0082 | 050 Ind C | Perpustakaan Komnas Perempuan (Perpustakaan Komnas Perempuan) | Available |
No other version available