Text
Gerak Bersama Dalam Data, Laporan Sinergi Database Kekerasan Terhadap Perempuan KemenPPPA, Komnas Perempuan dan FPL
Upaya menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan memerlukan langkah-langkah yang tepat, efektif dan berkesinambungan, baik dari sisi pencegahan, pendampingan dan pemulihan korban maupun penegakan hukum terhadap para pelaku kekerasan. Oleh sebab itu, ketersediaan data yang lengkap dan akurat menjadi syarat mutlak sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan, program, anggaran, dan penyediaan lembaga layanan, serta pelayanan terhadap korban kekerasan. Meskipun demikian, beberapa tantangan masih kita hadapi dalam penyediaan data kekerasan, antara lain masih rendahnya kasus kekerasan yang terlaporkan serta pelaporan data yang belum terintegrasi. Data kekerasan masih tersebar di berbagai unit layanan dengan sistem, konsep dan karakteristik yang berbeda-beda. Tentunya bukan upaya yang mudah untuk melakukan integrasi data dengan berbagai perbedaan di dalamnya. Meskipun demikian, bukan berarti tantangan ini harus dihindari. Itulah yang dilakukan Kemen PPPA, Komnas Perempuan dan FPL yang sepakat melakukan upaya integrasi data pelaporan kekerasan terhadap perempuan, sebagai tindak lanjut dari Kesepakatan Bersama tentang Sinergi Data dan Pemanfaatan Sistem Pendokumentasian Kasus Kekerasan terhadap Perempuan untuk Pemenuhan Hak Asasi Perempuan, yang ditandatangani tiga Lembaga pada tahun 2019. Kegiatan konkrit yang dilakukan adalah dengan mengeluarkan data kondisi kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari sampai dengan Juni 2021, sebagai langkah awal kerja sinergi database kekerasan terhadap perempuan. Dilanjutkan pada tahun 2022, dengan mengeluarkan kembali data kondisi kekerasan terhadap perempuan untuk periode Juli-Desember 2021.
Pada semester pertama (Januari s.d Juni) 2021, jumlah kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang tercatat pada sistem data tiga lembaga sebanyak 11.833 korban. Jumlah ini meningkat menjadi 15.502 korban pada semester kedua (Juli s.d Desember) 2021. Adanya peningkatan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan memang memprihatinkan, tetapi di sisi lain kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin berani untuk melaporkan kasus yang dialaminya. Korban kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan tersebar di seluruh provinsi dengan dominasi di Pulau Jawa, karena jumlah penduduknya terbanyak dibandingkan provinsi lainnya dengan aksesibilitas ke lembaga layanan yang lebih mudah dicapai.
Berdasarkan laporan yang masuk, kelompok anak (13-17) tahun dan kelompok umur dewasa muda (25-44) tahun, merupakan kelompok rentan mendapatkan kekerasan. Sejalan dengan hal tersebut, korban kekerasan terhadap perempuan paling dominan berstatus sebagai pelajar/mahasiswa. Data juga menunjukkan bahwa korban dengan pendidikan SLTA paling banyak yang melaporkan kasus yang dialaminya. Dengan demikian, layanan yang dapat diakses dengan mudah dan efektif untuk semua kalangan pendidikan menjadi kunci utama dalam pemenuhan hak korban. Tidak menutup kemungkinan bahwa yang menjadi tantangan dan menyebabkan masih rendahnya laporan dari korban kekerasan dengan latar belakang pendidikan SLTA ke bawah, dikarenakan sulit, tidak tahu, atau enggan melapor. Selain itu, pemerintah juga harus meningkatkan literasi untuk memperkuat pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus yang dialaminya.
Dari seluruh korban kekerasan yang terlaporkan selama Juli-Desember 2021, sebanyak 923 orang (5,95 persen) adalah penyandang disabilitas. Dalam penanganan dan pemberian layanan bagi korban kekerasan dengan disabilitas, maka sistem pengaduan dan penyediaan layanan harus aksesibel dan mengakomodir kebutuhan mereka.
Kekerasan seksual, psikis dan fisik merupakan jenis kekerasan yang paling banyak dialami perempuan. Hal ini sangat memprihatinkan, karena jika korban tidak mendapatkan penanganan dengan baik, akan berdampak sangat dalam bagi kehidupan mereka. Kekerasan terhadap perempuan dominan dilakukan di rumah tangga dan bersifat ranah pribadi atau privat. Hal ini sejalan dengan karakteristik pelaku kekerasan yang umumnya adalah orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban, seperti suami (2.727 pelaku), pacar/teman (1.957 pelaku) dan orang tua atau keluarga (1.594 pelaku).
Berdasarkan data dan fakta yang sudah disampaikan, maka dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan diperlukan sinergitas antar lembaga, baik dari sisi infrastruktur, anggaran, dan sumber daya manusia. Pemerintah harus melakukan pemerataan dalam pembangunan infrastruktur sistem layanan yang inklusif dengan sumber daya manusia yang memadai, serta pengembangan sistem pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan yang terpadu melibatkan lembaga layanan berbasis masyarakat. Komitmen yang tinggi dari pemerintah daerah dan adanya alokasi dana khusus, tentunya menjadi modal utama dalam koordinasi penanganan dan pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan. Upaya pencegahan terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan tentunya harus menjadi prioritas melalui advokasi dan sosialisasi kepada para pengambil kebijakan dan masyarakat, dengan tetap memperhatikan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, lansia dan anak perempuan.
KP II 000001 | KP 361 FUA g | My Library (Perpustakaan Komnas Perempuan) | Available |
No other version available