Text
Konflik, Manipulasui Dan Kebangkrutan Orde Baru:Manajemen Konflik Malari, Petisi 50 dan Tanjung Priok
Gerakan Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) merupakan aksi mahasiswa dan massa menolak lawatan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Aksi itu menimbulkan huru-hara dan perusakan-perusakan fisik berskala luas di Jakarta yang mengakibatkan kematian belasan orang dan penangkapan ratusan tokoh oleh tentara. Aksi tersebut, antara lain, didasari antidominasi modal asing (terutama Jepang), pemusatan sumber ekonomi penting di tangan militer, dan marginalisasi masyarakat. Aksi itu merupakan klimaks perbenturan kritisisme masyarakat dengan kinerja ekonomi dan politik negara. Dampak sosial terbesar dari Malari adalah penodaan citra dan peran politik mahasiswa dan massa sehingga diberlakukan depolitisasi dalam bermasyarakat dan bernegara serta pemberedelan beberapa media massa akibat pemberitaan peristiwa itu. Peristiwa Petisi 50 bermula dari ”Pernyataan Keprihatinan” yang ditandatangani 50 tokoh terkemuka yang menanggapi, mengkritik, dan menggugat pidato tanpa teks Presiden Soeharto saat Rapim ABRI di Pekanbaru (27 Maret 1980) dan sambutan Presiden Soeharto pada Hari Ulang Tahun KOPASSANDHA di Cijanjung, Jakarta, 16 April 1980. ”Pernyataan keprihatinan” itu juga mendesak para pejabat DPR dan MPR menanggapi pidato-pidato presiden tersebut. Akibatnya, para penanda tangan Petisi 50 mengalami ”represi halus”, misalnya pencabutan hak-hak sosial-ekonomi mereka. Para penanda tangan Petisi 50 berasal dari kalangan nasionalis, agama, dan ABRI (kini TNI, Red). Peristiwa Petisi 50 membuat antarelite yang berpengaruh di masyarakat berkonfrontasi dan menumbuhkan ”oposisi terorganisasi” yang sebelumnya belum mengemuka. Pada 12 September 1984, terjadi kerusuhan dan kekerasan bersenjata dalam Peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa itu melibatkan massa dan tentara yang menimbulkan kematian, penangkapan, dan kerusakan infrastruktur di sekitar Tanjung Priok. Konflik itu tersulut kegalauan umat Islam akibat negara mencanangkan asas tunggal Pancasila sebagai ideologi formal. Konflik tersebut juga terpicu situasi marginal masyarakat Tanjung Priok secara sosial-ekonomi. Setelah peristiwa itu, Orde Baru mengabaikan eksistensi ideologi informal dan mewajibkan organisasi masyarakat dan organisasi sosial-politik menganut asas tunggal Pancasila. Juga, terjadi depolitisasi, institusionalisasi, dan de-ideologisasi demi memantapkan rezimentasi negara Orde Baru.
KP VI.000124 | 320 FAT K | My Library | Available |
KP VI 0273 | KP VI.6 FAT k | Perpustakaan Komnas Perempuan (Perpustakaan Komnas Perempuan) | Available |
No other version available