Text
Jurnal Perempuan 97: Hukum PIdana dan Ketimpangan Gender
Reformasi 1998 sering dipandang sebagai momentum bagi perbaikan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini terlihat pada agenda reformasi yang disuarakan kala itu. Kita tentu ingat reformasi hukum merupakan salah satu agenda reformasi. Kini, 20 tahun setelah reformasi bergulir kita melihat upaya gerakan perempuan untuk mengintegrasikan hak-hak perempuan korban kekerasan berbasis gender dalam berbagai aturan telah mewujud dalam sejumlah undangundang (UU). Seperti UU Hak Asasi Manusia, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Saksi dan Korban dan UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Awal 2018 ini Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah mencapai pembahasan tahap akhir sejak ide revisi diinisiasi pada 1963 dan perumusannya bergulir tahun 1980- an. Perumusan ulang KUHP yang merupakan dasar dan kerangka penegakan sistem hukum pidana di Indonesia tentu diharapkan dapat menciptakan hukum yang berkeadilan bagi seluruh warga negara. Namun sejumlah elemen masyarakat sipil justru mengkritik RUU KUHP yang tengah dibahas pemerintah dan DPR, bahkan berlanjut dengan aksi penolakan. Kritik dan penolakan tersebut salah satunya menyoal aturan yang berpotensi mengkriminalkan setiap warga negara, terutama perempuan, anak, masyarakat adat dan kelompok marginal. Kritik dan penolakan yang dilakukan masyarakat sipil tersebut memperlihatkan ada yang salah dengan proses revisi RUU KUHP. Jika hukum dimaksudkan sebagai perangkat untuk mengatur perilaku warga negara dan menciptakan keadilan, maka ia seharusnya berangkat dari pengalaman seluruh warga negara. Ia tak boleh hanya merepresentasikan kepentingan separuh atau sekelompok warga negara. Sementara rancangan hukum pidana yang sedang dalam pembahasan justru mengabaikan kepentingan perempuan dan kelompok marginal. Ini tampak pada bab yang mengatur tentang kesusilaan, seperti pasal tentang zina, pemerkosaan, perbuatan cabul, perdagangan perempuan dan anak, akses terhadap informasi dan layanan kontrasepsi, dan pengguguran kandungan/aborsi. Pasalpasal tersebut pada dasarnya terkait dengan otoritas tubuh dan seksualitas perempuan, sehingga suara dan pengalaman perempuan seharusnya menjadi pertimbangan. Penempatan pasal kekerasan seksual seperti pemerkosaan, pencabulan dan perdagangan perempuan dan anak dalam bab kesusilaan akan mengaburkan hakikat dari tindak pidana tersebut dan mereduksinya sebagai masalah pelanggaran rasa susila dan kesopanan masyarakat.
KP XVIII.000234 | KP XVIII JUR h | My Library | Available |
KP XVIII 00147 | Perpustakaan Komnas Perempuan (Perpustakaan Komnas Perempuan) | Available |
No other version available