Text
Eksistensi Calalai: dalam Budaya Sulawesi Selatan
Tulisan ini dihadirkan untuk menelusuri jejak calalai dalam pertarungan makna tersebut. Penelusuran ini berawal dari sistem nilai budaya Bugis kuno yang termaktub dalam naskah klasik La Galigo. Sistem nilai ini diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui tradisi tutur (oral tradition). Hingga pada abad ke-19 (masa pendudukan Belanda), tradisi tutur La Galigo disatukan dan disalin ke dalam lembar daun lontar oleh seorang perempuan bernama Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa Matinroe ri Tucae, ratu dari kerajaan Pancana. Karyanya kemudian diambil oleh pemerintah kolonial Belanda, saat ini karyanya tersebut berada di museum Leiden, Belanda. Menurut La Paroki dalam Perempuan Bugis, secara kultural, Sulawesi Selatan menempatkan potensi perempuan yang lebih utama ketimbang laki-laki, berbeda dengan mayoritas budaya yang ada di dunia yang menempatkan laki-laki sebagai simbol keunggulan. Lihat misalnya dengan penamaan “I La Galigoâ€. Secara semiotik huruf ‘I’ di Sulawesi Selatan dinisbatkan pada perempuan sedangkan ‘La’ untuk laki-laki. Pemberian nama “I La Galigo’ memuat makna simbolik dimana ikon manusia sempurna dan penyelamat masyarakat didahului dengan simbol ‘Perempuan’ kemudian simbol ‘Laki-laki’. Secara harfiah, makna ini berarti manusia sempurna adalah yang memiliki unsur keperempuanan dan kelaki-lakian secara seimbang. Landasan filosofis dalam kesempurnaan adalah keseimbangan dan keadilan
KP.VIII.2.000050 | KP VIII.2 SUG e | My Library | Available |
No other version available