Text
Kesaksian pengantin bocah
Lima puluh dua studi kasus perkawinan anak dikumpulkan oleh delapan orang peneliti Rumah KitaB dari lima provinsi di Indonesia–Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Dari kasus-kasus itu bisa dikenali karakteristik sosiologis mereka seperti umur, latar belakang pendidikan, karakteristik daerah, serta informasi tentang status perkawinan dan keadaan ekonomi orangtuanya. Penelitian tentang perkawinan anak, yang kemudian kami dokumentasikan studi kasusnya dalam buku ini, dimaksudkan untuk memahami mengapa praktik ini tetap ada, bahkan menguat setelah segala upaya dilakukan bahkan sejak masa kolonial. Sebagai studi dengan pendekatan feminis, penelitian ini juga mengidentifikasikan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengurangi atau menghapus praktik perkawinan anak. Upaya paling banyak adalah melalui regulasi penundaan usia kawin, baik dalam bentuk surat edaran atau keputusan pimpinan daerah melalui SKPD tertentu, seperti Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan KB. Upaya itu seperti dapat dibayangkan hanya bersifat ad hoc, dengan program yang terbatas dan anggaran yang kecil. Upaya lain yang bersifat kultural dilakukan oleh sejumlah pesantren yang memberi peluang kepada anak yang telah dikawinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa mempersoalkan status perkawinannya. Ada lagi regulasi yang asal-asalan, seperti melarang anak sekolah menggunakan handphone, yang tentu saja tak satupun mematuhinya, kecuali di lingkungan pesantren yang memang mengatur tatacara penggunaan alat komunikasi handphone, dan lain-lain. Usulan-usulan yang teridentifikasi itu menunjukkan bahwa bacaan atas peta persoalan perkawinan anak begitu sederhana, reaktif, dan tak berdasar pada persoalan yang mendasar terkait praktik perkawinan anak. Penelitian ini merekomendasikan agar isu perkawinan anak harus dilihat sebagai persoalan negara yang membutuhkan solusi yang tidak sederhana: mengatasi pemiskinan sistemik, mengembalikan dukungan warga dan pamong agar anak tak mengalami krisis yatim piatu sosial, memperbaharui dan menegakkan hukum yang sensitif perempuan dan anak, menyajikan fikih alternatif, mewajibkan kurikulum kesehatan reproduksi berbasis pemahaman relasi gender, serta membuka akses pendidikan tanpa diskriminasi kepada anak perempuan yang telah menikah.
KP IV.6.000081 | KP IV.6 MAR k | My Library | Available |
No other version available