Text
Mengevaluasi Arah Dan Karakter Teologi Feminis Di Indonesia: Prosiding Seminar Dan Lokakarya Teologi Feminis
tidak terlalu acap ditemukan seorang teolog laki-laki Indonesia yang mengkhususkan diri pada penelitian mengenai teologi feminis dari perspektif laki-laki. Beberapa teolog laki-laki melakukannya namun bukan sebagai sebuah fokus utama penelitiannya.2 Di dalam konteks Barat, usaha ini lebih mudah ditemukan. Namun demikian, kita juga harus memahami perbedaan jenis dan bobot persoalan antara teologi Barat dan Timur. Misalnya, karakter Bahasa Indonesia membuat masalah inclusive language tidaklah sedalam persoalan linguistik di Barat. Persoalan di Indonesia pada khususnya dan Timur pada umumnya lebih terletak pada internalisasi kultural dari patriarkhi dan bukan pada bahasa patriarkhal, sekalipun yang terakhir ini tetap juga tak boleh diabaikan. Di dalam konteks Indonesia, pengolahan kembali bahasa tidak serta-merta menyelesaikan persoalan ketimpangan gender. Dalam hal ini, benarlah yang dikatakan oleh Brian Wren: “Perubahan bahasa tidaklah sepenuhnya penting: jika ia segala-galanya maka mengubah bahasa akan menjadi satu-satunya yang dibutuhkan untuk mengubah dunia” (Wren 1989, 82). Mengubah sebutan “Bapa” Dengan pendekatan ini hendak ditegaskan bahwa seluruh percakapan teologis haruslah berperspektif feminis. Peneraan “feminis” pada “teologi” tidak bersifat pilihan, seolah-olah ada teologi yang berwatak feminis dan ada teologi yang tidak berwatak feminis. Dalam hal ini benarlah yang dikatakan oleh Rosemary R. Ruether, bahwa “teologi apa pun yang dapat dipahami tanpa acuan pada feminisme merupakan sejenis teologi yang khusus, yaitu teologi patriarkal” (Ruether 1985, 7013). Tentu saja pendekatan kedua ini punya masalahnya sendiri. Pertama, sejak awal sebuah kurikulum dirancang, perspektif feminis ini harus dimunculkan secara sadar dan sengaja. Ia tak bisa sekadar diandaikan atau dihimbau untuk diusahakan oleh para dosen yang mengampu matakuliah-matakuliah non-teologi feminis. Kedua, para dosen yang mengampu matakuliah-matakuliah non-teologi feminis harus sungguh-sungguh memiliki kepekaan gender dan pemahaman yang memadai mengenai teologi feminis. Tanpa itu semua, bisa jadi keinginan menghadirkan perspektif feminis ke dalam silabus justru berujung pada promosi pemahaman yang bertentangan dengan semangat kesetaraan laki-laki dan perempuan.
KP.II.000408 | KP.II WAI m | My Library | Available |
No other version available