Text
Bertaruh nyawa merajut damai: kisah gerakan peringatan dini konflik di ambon
buku ini tidak hanya mengisahkantentang sisi human interst aktivis perdamaian yang bergabung dalam Tim EWS ambon tetapi juga berisi tentang berbagai cerita keberhasilan mereka dalam melakukan pendampingan di wilayah-wilayah konflik yang tersebar di Pulau ambon.Pendekatan kultural dengan memberdayakan institusi tradisional raja-raja dan latupati serta memperkuat jaringan komunitas.Tim EWS Ambon berhasil membangun sistem peringatan dan tanggap dini konflik. Di tengah kekhawatiran bahwa Indonesia akan terpecah belah karena konflik kekerasan di beberapa provinsi pasca-runtuhnya rezim Orde Baru, beberapa perjanjian damai berhasil dicapai dan menghentikan kekerasan yang telah menelan ribuan korban jiwa dan harta benda. Salah satu perjanjian tersebut adalah Perjanjian Damai Malino II, yang dipandang sebagai tonggak berakhirnya konflik berkepanjangan di Provinsi Maluku. Namun demikian, kekerasan-kekerasan dalam skala yang lebih kecil dan bersifat sporadis masih terus terjadi di Maluku, khususnya di Kota Ambon. Peneliti dan penggiat perdamaian telah mengidentifikasi bahwa salah satu persoalan yang dihadapi Kota Ambon adalah segregasi pasca-konflik. Akan tetapi, belum ada studi yang berfokus pada hubungan antara segregasi pasca-konflik, munculnya kekerasan, dan kebijakan pembangunan pasca-konflik. Oleh karena itu, studi ini dirancang untuk mengisi kekosongan informasi tersebut. Kota Ambon dari dulu telah dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia dengan ciri segregasi yang kuat, baik secara sosial maupun spasial, antara komunitas Kristen dan Islam. Pasca-konflik sosial tahun 1999, penyelesaiannya dilakukan melalui kebijakan rekonstruksi pasca-konflik oleh pemerintah setempat. Kebijakan ini telah berperan menciptakan akibat tidak langsung dan tidak disengaja (unintended consequence), berupa segregasi sosio-spasial baru. Kemunculan segregasi pasca-konflik ini banyak bersumber dari proses pengungsian masyarakat dan mekanisme penyelesaian masalah pengungsi, khususnya melalui program relokasi. Saat konflik sosial antara komunitas Muslim dan Kristen meletus di Ambon (1999-2002), ribuan warga kedua komunitas tersebut mengungsi ke wilayah-wilayah yang penduduknya memiliki kesamaan identitas secara etno-religius dengan mereka untuk mendapatkan rasa aman. Ketika konflik mereda, para pengungsi tersebut enggan kembali lagi ke daerah asalnya. Konsekuensinya, daerah-daerah yang sebelum konflik relatif heterogen, secara etno-religius menjadi semakin homogen. Di samping itu, tugas berat Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon, dan secara umum Pemerintah Provinsi Maluku, adalah menangani masalah -masalah pengungsi yang sampai saat ini masih menjadi persoalan, di antaranya berupa validitas data pengungsi, tidak adanya pemberdayaan pengungsi, tidak meratanya bantuan, kondisi fisik-kesehatan pengungsi yang masih memprihatinkan, sengketa lahan yang ditinggali, masalah kependudukan, pengembalian hak-hak perdata atas aset yang ditinggalkan, sertifikasi tanah, dan ekses dari klaim pemerintah bahwa penanganan pengungsi sudah selesai pada tahun 2009 sehingga upaya penanganan dihentikan.
KP.V.9-00016 | KP.V.8 BAM B | My Library | Available |
No other version available