Text
Hubungan perburuhan di sektor informal : permasalahan dan prospek
Krisis moneter yang mulai melanda negeri sejak pertengahan Agustus 1997, segera mengakibatkan krisis-krisis sosialpolitik lain yang terus meminta korban. Salah satu yang sangat memprihatinkan adalah pengangguran yang membuat hampir 40 juta pekerja menderita. Akibatnya, sektor informal menggelembung karena tidak ada peluang lain untuk mencari nafkah. Perusahaanperusahaan kecil tumbuh dan terjadilah hubungan majikan-buruh di sektor informal yang pola dan sifatnya belum banyak diketahui. Itulah yang mendorong tiga peneliti AKATIGA untuk mempelajari dan mengungkapkan seluk-beluk hubungan tersebut dengan menganalisis tiga kasus di tiga sektor yang berbeda, yaitu sektor pertekstilan, perikanan, dan perkebunan di Jawa Barat. Betapapun mikronya kasus-kasus ini, jumlah yang banyak ternyata juga memberi sumbangan kepada ekonomi makro sehingga pertumbuhannya masih mencapai 3% setahun. Kemudian, di balik itu, besar pula pengorbanan yang diberikan secara terpaksa oleh kaum buruh kecil di ketiga sektor. Inilah yang dibeberkan dalam hasil penelitian ini agar masyarakat luas juga menyadari penderitaan mereka. Pada umumnya tentu hubungan majikan-buruh dalam sektor informal berbeda sekali dari sektor-formal karena sifatnya tidak zakelijk (businesslike), tidak ada kontrak dan peraturan tertulis. Kalupun ada kesepakatan, itu terjadi antara pihak yang kuat sebagai penentu syarat KATA PENGANTAR RELASI BURUH-MAJIKAN DI SEKTOR INFORMAL III K KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR IV RELASI BURUH-MAJIKAN DI SEKTOR INFORMAL dan pihak yang lemah sebagai penerima syarat. Hal yang sangat mewarnai hubungan majikan-buruh adalah jaminan sosial untuk sedikit memenuhi kebutuhan buruh dan keluarganya. Bentuk tersebut berbeda-beda antara ketiga sektor dan jelas tidak ada standardisasi. Variasi ini yang juga membuat studi ini menarik. Fenomena yang tidak kurang menariknya adalah perilaku para kontraktor atau prinsipal, yang membentuk mata rantai subkontraktor yang panjang, sehingga tanggung jawab dan kualitas produk akhir juga dialihkan. Dengan kata lain, prinsipal cuci tangan. Ini semua dapat terjadi karena pada kenyataannya tidak ada hukum yang berlaku di sektor informal. Ini merupakan hal yang mudah dipahami bahwa dengan sistem demikian prinsipal dan sejumlah subkontraktor menikmati penghasilan, yang mudah mengurangi upah buruh, tanpa bekerja apa-apa. Untuk melawan sistem pengupahan yang rendah tersebut, memang perlu organisasi, tetapi di sektor tertentu hal itu bukan saja menyatukan buruh. Ada kasus-kasus yang menunjukkan bahwa organisasi buruh yang melibatkan sub-kontraktor lebih kuat menghadapi prinsipal yang terlalu dominan. Di sektor perikanan tampaknya lebih sukar untuk membentuk organisasi buruh nelayan, tetapi timbul persatuan dari putera daerah yang sama. Akhirnya, penelitian hubungan majikan-buruh di tiga sektor mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan, bagaimana prospek jaminan sosial buruh dan upaya memberdayakan mereka? Tujuannya adalah agar eksploitasi tenaga buruh di sektor informal tidak melampaui batas perikemanusiaan dan tentu juga pengawasan dan kontrol dari yang berwajib diperlukan.
KP.X.000042 | KP.X.SAF h | My Library | Available |
No other version available