Text
Jurnal Perempuan 66: Pendidikan Untuk Semua Pendidikan untuk Semua
Lalu bagaimana perkembangan pendidikan saat ini? Apakah semangat mendidik itu berhasil diteruskan pada bangsa yang sudah merdeka kini? Hamid Muhammad, Dirjen Pendidikan Non Formal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional mengatakan, “Saat ini, sedikitnya 8,3 juta orang Indonesia masih buta aksara atau tidak bisa menulis dan membaca huruf latin. Lebih dari separuhnya perempuan dan di dominasi usia 45 tahun 10 ke atas - Hamid Muhammad, Dirjen Pendidikan Non Formal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional.” (www.waspada.co.id). Data yang disebutkan oleh Hamid Muhammad ini membentangkan persoalan dasar dalam sektor pendidikan yaitu masih banyaknya jumlah buta huruf secara umum, dan secara khusus fakta memperlihatkan jumlahnya lebih banyak perempuan. Fakta di atas sedikit membuka mata kita bahwa kenyataan orang Indonesia yang masih belum bisa membaca dan menulis ternyata banyak sekali. Dari fakta yang sedikit itu, Jurnal Perempuan kali ini akan membeberkan fakta-fakta lain yang lebih banyak lagi seputar persoalan pendidikan di Indonesia dengan sejumlah tantangannya. Salah satunya persoalan korupsi, bagaimana Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan banyak dugaan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan untuk pendidikan. Hingga semester II-2007 ada enam bentuk dugaan penyimpangan di antaranya pemborosan, kerugian negara, tanpa bukti pertanggungjawaban dan penyimpangan pengelolaan aset dengan total kerugian negara mencapai Rp. 852, 6 milyar. Persoalan lainnya, komersialisasi pendidikan semakin marak, menjadi fakta penting tentang adanya Konsep Sekolah Nasional Plus, adalah istilah yang digunakan oleh sekolah secara sepihak untuk menunjukkan kepada publik adanya sekolah yang menawarkan fasilitas, kurikulum yang berbeda dari sekolah swasta lainnya untuk menjaring konsumen pendidikan. Bayangkan, dalam sekolah nasional plus ini orang tua harus membayar Rp 46.000.000,00 untuk satu tahun ajaran anak mereka yang duduk di bangku SLTA. Tak hanya itu, dalam salah satu artikel edisi ini disebutkan institusi pendidikan hanya menjadikan anak-anak masuk dalam pabrik ujian (pabrik testing) yang nyatanya gagal meningkatkan kualitas pendidikan.Ujian Nasional dan tes-tes sejenisnya mengingkari keberagaman potensi anak. Padahal sesuai kodratnya anak memiliki karakter, kecenderungan, minat, mimpi, dan kemampuan yang berbeda-beda. Tes semacam ini disebut merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak. Sistem penilaian seperti ini juga cenderung menyingkirkan anak-anak yang dianggap tidak pandai. Padahal pendidikan seharusnya bersifat inklusif bukan eksklusif
KP XVIII.000201 | KP XVIII JUR m | My Library | Available |
No other version available