Text
Negara sibuk rakyat terpuruk
Memperhatikan bagaimana refleksi Arie Sujito atas Indonesia, sketsanya ada tiga pihak yang saling berhubungan yaitu negara, rakyat, dan satu lagi adalah perantara. Banyak sebutan yang ditujukan untuk perantara, mulai dari broker, komprador, makelar, hingga calo, dan sepertinya sebutan terakhir itulah yang paling pas atau telah mengkultur. Jadi tidak heran jika negeri ini adalah negeri para calo, karena calo telah menjadi bagian dari kultur kita dalam hubunganhubungan ekonomi, politik, sosial, dan bahkan hubungan spiritual keagamaan. Karena itu di setiap arena aktivitas sosial selalu muncul kegiatan percaloan, sehingga di mana-mana ada calo mulai dari calo tiket, tanah, mobil, calo politik, calo birokrasi, calo akademik dan bahkan calo agama.
Dalam dinamika hubungan antara negara dan rakyat, karakternya vertikal dan eksploitatif dengan negara berada pada posisi dominan, sedangkan rakyat senantiasa dalam posisi subordinan. Inilah yang dikenal sebagai hubungan dominatif dan sebagian juga patrimonialistik yang merambah ke berbagai arena kehidupan sosial-politik. Pada karakter hubungan seperti itu logikanya negara tampil begitu perkasa karena menjadi pihak yang senanti asa untung, sementara rakyat pihak yang rugi. Tetapi ternyata ti dak demikian, justru negara rugi dan lemah makin keropos, sedangkan rakyat, jelas tambah rugi. Lalu siapa yang mengambil untung dalam karakter hubungan seperti itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah para calo.
Di situlah sumber ironi, yang kemudian menjadikan negeri ini penuh ironi, atau lebih tepat lagi “negeri katanya.” Arti nya, katanya negeri berkultur agraris-maritim, tetapi impor beras, jagung, kedelai, dan bahkan garam. Bagaimana tidak, para petinggi di jajaran birokrasi yang memiliki kewenangan mengambil keputusan lebih banyak yang bermental calo. Namanya saja calo karena itu memang ti dak visioner, hanya berorientasi hasil, tidak menghargai proses, dan yang penting lagi cepat dapat untung meski tanpa berkeringat. Keti ka ditawari komoditas pertanian strategis oleh jajaran negara kapitalis global misalnya, maka menerima begitu saja tanpa memperti mbangkan nasib petani di negeri agraris ini. Watak calonya mendominasi, tawaran seperti itu senantiasa diterima karena ada iming-iming sogokan atau yang sering diungkapkan secara eufimistik dengan isti lah fee.
Maka lebih baik impor komoditas pertanian, daripada mengeluarkan kebijakan aksi afirmatif yang memproteksi petani agar lebih produktif lagi. Akhirnya cerita ironi itu berlanjut, keti ka produksi kedelai di Amerika Serikat menurun karena faktor iklim, tetapi yang kelaparan dan kehilangan pekerjaan adalah para bakul tempe di Indonesia. Demikian pula petani garam, nasibnya setali ti ga uang. Mereka terus bergulat dengan kemiskinan meski negeri ini memiliki pantai terpanjang di dunia. Sedangkan harga garam cuma Rp 250 per kilogram. Diperlukan setengah kuintal garam bagi petani untuk sekadar membeli pulsa seharga sepuluh ribu rupiah.
Katanya negeri demokrasi, tetapi kenyataannya di sana-sini penuh tindakan anarkis, baik di kalangan bawah maupun di kalangan atas. Karena persyaratan dasar nilai demokrasi seperti toleransi, menghargai pendapat orang lain, tradisi mendengar, dan mengakui kekalahan, tidak pernah dipenuhi. Jadi yang marak adalah munculnya demokrasi prosedural, pseudo demokrasi, demokrasi semu, dan bukan demokrasi substansial. Mengapa demikian? Persis yang dikatakan Arie Sujito, karena adanya sabotase demokrasi atau ada semacam pembajakan demokrasi oleh elite.
Siapa elite dalam konteks ini, tidak lain adalah para calo demokrasi yang gemar menerapkan politik representasi. Sebuah prakti k politik pengatasnamaan rakyat oleh elite, tetapi sesungguhnya demi kepentingan mereka sendiri. Mereka ini sering melakukan prakti k di berbagai arena seperti Pemilukada, Pemilu legislatif, dan juga sering melakukan politisasi pada dunia olahraga, birokrasi, dan bahkan
agama, yang ujung-ujungnya adalah mencari keuntungan pribadi atas nama publik. Oleh karena prakti k politik representasi itu terus marak, maka negeri ini terus berada dalam proses transisi demokrasi tak berujung. Katanya negeri religius, tetapi kenyataannya ti ngkat kriminalitas ti nggi, konflik agama di mana-mana dan korupsi merajalela. Begitu ironisnya negeri ini, sampai-sampai pengadaan kitab suci saja juga dikorupsi. Sepertinya hipokrisi itu merasuk ke alam pikiran dan kesadaran bangsa ini, sehingga hipokrisi itu sendiri telah menjadi sebuah kultur. Bangsa munafik sebagaimana dikatakan Mochtar Lubis empat puluh tahun lalu, masih belum berakhir dan sepertinya sulit berakhir. Mengapa ini bisa terjadi? Karena di arena moral-spiritual ini juga tidak luput dari calo, yang diperankan secara efektif oleh para elite pe nafsir agama. Mau berkomunikasi dengan Tuhan saja, di negeri ini harus lewat loket-loket bikinan para elite penafsir agama, ti dak boleh langsung ke Tuhan. Akibatnya mobolisasi umat beragama di negeri ini terjadi di mana-mana, yang sebenarnya demi kepenti ngan membela elite agama, dan bukan membela kepentingan agama itu sendiri sebagai sumber nilai kemanusiaan universal.
Katanya bangsa besar, tetapi kenyataannya masih saja mentalitas sebagai bangsa kuli sering memperlihatkan diri. Sudah sekian dekade bangsa ini menjadi penyuplai terbesar tenaga kerja otot ke negeri orang, atau yang populer dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sudah menjadi cerita lama nasib TKI kita penuh dengan duka nestapa, mengalami penyiksaan, pelecehan sosial, dan pembunuhan dan pulang tinggal mayat. Negara mestinya tampil perkasa dalam mengurus dan memberikan perlindungan terhadap warganya di negeri orang yang disebutnya sendiri sebagai pahlawan devisa negara. Akan tetapi ironisnya, negara seringkali tidak hadir, absen, bahkan terkesan menjalankan politik pembiaran terhadap nasib TKI. Semua itu bersumber pada ketidakberdayaan negara terhadap para calo TKI yang senantiasa mengontrol nasib para pahlawan devisa itu.
Begitulah sekilas cerita di negeri penuh ironi. Lantas pertanyaannya, tidak ada cerita sukseskah di negeri ini? Rakyat harus minta tolong pada siapa? Tidak ada yang menolong, kecuali menolong dirinya sen diri, melalui gerakan sosial yang jelas dan terorganisir. Untuk itu mesti memenuhi persyaratan dasarnya, yaitu kelas menengah yang sadar akan perannya, dan massa yang kritis (criticall mass). Kelas menengah di negeri ini perlu memiliki kesadaran sebagai bagian dari masyarakat sipil yang mendorong ke arah berkembangnya proses kewarganegaraan (citizenship).
Kecenderung kelas menengah yang selama ini terseret ke gaya hidup konsumti f dan ti dak kritis terhadap narasi-narasi besar yang dominatif, perlu dicegah melalui gerakan revitalisasi kelas menengah. Lebih dari itu perlu mencegah kelas menengah menjadi bagian dari suburnya praktik percaloan dalam berbagai hubungan sosial, politik, ekonomi, dan mental-spiritual, melalui gerakan penyadaran kembali akan peran vitalnya dalam proses demokrasi.
Bersamaan dengan itu gerakan yang menuju terciptanya massa yang kritis perlu terus diupayakan, dengan peran intelektual di belakangnya. Karena itu seperti himbauan Arie, peran intelektual harus terus menerus dipertanyakan. Karena itu munculnya berbagai jenis intelektual bernuansa calo, seperti intelektual pengasong, intelektual bazaar, segera diminimalisir. Kalaulah kita bangsa Indonesia boleh optimistik, maka gantungannya pada kaum intelektual yang oleh Gramsci disebut intelektual organik. Jenis intelektual ini masih banyak di negeri ini, karena itu saatnya tampil ke depan dengan dukungan kelas bawah.
Melalui peran optimal dari para intelektual organik inilah membangun massa yang kritis akan dapat diwujudkan. Hanya dengan massa yang kritis, representasi rakyat adalah representasi yang sesungguhnya, sehingga demokrasi pun menjadi lebih substansial. Transformasi ini akan lebih cepat jika mentalitas calo yang telah membudaya segera ditekan surut, sehingga negeri ini tidak lagi terjebak pada sejarah negeri yang penuh ironi. Tetapi kalau menegok ke jendela empirik, ironi itu memang masih banyak sebagaimana yang direkam dengan baik oleh Arie Sujito dalam buku ini.
KP.X.000046 | KP.X. SUJ n | My Library | Available |
No other version available