Text
Men-siasat-i Otonomi Daerah
Buku ini membantu orang‐orang yang aktif mengarahkan perubahan sosial di Indonesia karena berisi tentang penerangan atau informasi seputar formula‐formula politik otonomi daerah. Sebagaimana kebijakan‐kebijakan lain, berbicara soal kebijakan desa sudah pasti akan melahirkan pro dan kontra karena banyak pertarungan kepentingan yang bermain di dalamnya. Realitas keberagaman yang melekat pada komunitas di berbagai daerah di Indonesia menjadi ‘kerumitan’ tersendiri dalam bongkar pasang kebijakan tentang desa. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemerintahan desa diatur dengan UU No.5/1979. Kebijakan ini melihat desa sebagai wilayah administrative, desa tidak diakui sebagai kesatuan ‘masyarakat hukum’. Dampaknya governance system (sistem pengelolaan hidup bersama) yang sudah hidup bertahun‐tahun seiring dengan lahirnya sebuah desa, di mana di dalamnya tercakup government system (sistem pemerintahan), digantikan oleh sistem Pemerintahan Desa baru yang tidak dimengerti oleh komunitas setempat.
Tidak hanya pencangkokan sistem pemerintahan, melalui UU No.5/1979 ini terjadi perubahan corak kesatuan teritorial wilayah yang berakibat pada hilangnya hak‐hak pengaturan dan penguasaan atas sumber‐sumber kehidupan, seperti lahan, pohon, sungai, air, dan lain sebagainya. Artinya ada perubahan struktur kewenangan dan penguasaan atas sumber‐sumber kehidupan di desa. Selain kesatuan wilayah, corak persekutuan dan kesatuan sosialnya pun berubah, sehingga berpengaruh pada mekanisme sosial bagi penciptaan solidaritas sosial maupun reproduksi pengetahuan lokal. Dengan demikian intervensi Negara dalam desa mengakibatkan kerusakan sosial, budaya, ekonomi, politik dan ekologis yang luar biasa.
Pasca jatuhnya rezim Soeharto tahun 1998, UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Daerah digantikan dengan UU No 22/1999, yang populer Undang‐undang Otonomi Daerah. Semangat Undang‐undang ini ingin merehabilitasi kedudukan dan peranan desa atau yang disebut dengan nama lain (dalam pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum) karena UU No.5/1979 dianggap tidak sesuai dengan jiwa UUD 45 . Banyak pihak menilai UU No.22/1999 ini membuka pintu bagi demokratisasi desa walaupun dari segi filosofi, politik, hukum, maupun tata laksana pengaturannya masih banyak kelemahan. Dalam perkembangannya UU No.22/1999 direvisi menjadi UU No. 32/2004. Dalam UU No.32/2004, khususnya Bab XI tentang pemerintahan desa masih menampilkan Negara sebagai regulator penting atas kehidupan social politik di desa. Ada dua hal mendasar yang menjadikan UU No. 32/2004 ini dianggap kontradiktif oleh berbagai kalangan karena menutup kembali pintu demokrasi yang baru saja dibuka.
KP XXI.000046 | KP XXI FAU m | My Library | Available |
No other version available