Text
Globalisasi dan kebudayaan : homogenitas, keragaman, identitas, kebebasan
Berbica tentang globalisasi pasti tidak ada ujungnya, karena daya cakupnya yang begitu luas hingga boro-boro kejamah sama orang banyak. Atas stetmen itulah bangsa ini hanya ikut-ikutan terbawa arus globalisasi tanpa mengetahui apa esensinya. Saya mengerti bahwa pengantar saya aneh dan tidak jelas... maka dari itu langsung saja masuk kemateri.
Membantah kekeliruan yang acap dilontarkan oleh para penentang perdagangan bebas tentang keseimbangan perdagangan, masih merupakan sesuatu hal yang mudah bagi para pembela perdagangan bebas. Namun bagaimana dengan kritik ”budaya” yang dilontarkan terkait dengan perdagangan bebas dan globalisasi.
Buku kecil ini, yang berasal dari makalah yang dibuat oleh Tom G. Palmer untuk sebuah lokakarya berjudul ”Mengkampanyekan Perdagangan Bebas” yang diadakan oleh Institute Liberal, sebuah institusi yang berada dibawah Friedrich Naumann Stiftung, pada tahun 2003, mencoba memaparkan berbagai kekeliruan asumsi yang dimiliki para penentang globalisasi, yang berkaitan dengan persoalan kebudayaan.
Para penentang globalisasi acap memakai istilah ”globalisasi alternatif”, untuk menggambarkan tentang ketidakseimbangan dan ketidakadilan, yang menurut mereka muncul dari mekanisme hubungan perdagangan dan globalisasi yang terjadi sekarang. Tom G. Palmer memulai dengan tiga pertanyaan awal:
1. Globalisasi adalah berkurang atau hilangnya batasan negara dalam pertukaran sukarela lintas batas dan produksi global yang semakin terintegrasi. Apakah petani gandum Amerika Serikat boleh membeli telepon selular dari Finlandia, apakah penenun Ghana sebaiknya diijinkan untuk menjual kemeja dan celana panjang yang mereka buat kepada pekerja industri mobil di Jerman?
2. Haruskah kita menyambut dan merangkul atau sebaliknya menakuti dan menolak interaksi dan percampuran budaya manusia, ras, komunitas, dan pandangan dunia yang dibawa oleh perdagangan bebas?
3. Benarkah globalisasi sedang membawa budaya dunia menuju homogenitas, dimana budaya Brazil misalnya tak bisa lagi dibedakan dengan budaya yang ada di Bavaria, atau lebih ekstrim suatu budaya yang semata didominasi oleh kultur Hollywood?
Palmer menulis bahwa fenomena globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Ia sama tuanya dengan sejarah yang tercatat. Sekitar tahun 420 sebelum Masehi, ahli filosofi Democritus dari Abdera menulis, ”bagi orang yang bijaksana seluruh dunia ini terbuka, karena asal jiwa yang baik adalah seluruh dunia.” Kalimat ini menandakan bahwa perdagangan internasional dan globalisasi telah lama disetarakan dengan peradaban itu sendiri, seperti juga Homer, dalam bukunya IX Odyssey menggambarkan bahwa kaum Cyclops adalah bangsa yang liar karena tidak berdagang atau berhubungan satu dengan yang lainnya.
Dalam buku ini Palmer menggambarkan justru adanya globalisasilah yang membuat budaya semakin beragam seraya berkembang dan mengisi satu dengan yang lainnya. Teh misalnya, suatu tanaman yang berasal dari China, namun berkembang dan menjadi sebuah budaya di India akibat diperkenalkan oleh pedagang Inggris. Bagi Palmer mereka yang membela keotentikan budaya biasanya menganggap batas-batas budaya otentik sama dengan batas-batas territorial. Terkadang pula menjadi lucu, seolah para pemuja keotentikan budaya ingin memelihara keterbelakangan dan kebodohan, dengan mengatasnamakan ”menjaga keaslian.”
Untuk dapat dikatakan sebagai budaya yang hidup, suatu budaya harus mampu berubah. Jika dikatakan bahwa suatu budaya tak boleh dipengaruhi oleh budaya lain diluarnya, atau dilindungi dari pengaruh globalisasi, maka sama saja, menurut Palmer, menggiring budaya tersebut keambang kehancuran. Guna menegaskan apa yang menjadi pendiriannya Palmer mengutip Mario Vargas Llosa, dalam bukunya ”the Culture of Liberty,” bahwa usaha untuk memberlakukan suatu identitas budaya pada masyarakat adalah sama dengan mengurung mereka dalam penjara dan merampas aspek kebebasan yang berharga, yaitu memilih menjadi apa, bagaimana dan siapa. Menutup tulisannya Palmer mengatakan, budaya yang hidup selalu berubah, proses perubahanlah yang menjadikan budaya sebagai budaya. Ia mengatakan bahwa kesombongan orang-orang yang ingin mempertahankan kaum miskin dan lingkungan asli mereka, seperti seekor kadal didalam akuarium, adalah sebuah kebodohan yang mengejutkan. Tom G. Palmer adalah dosen senior pada Cato Institute dan direktur Cato University. Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, ia sangat aktif dalam propaganda gagasan liberal klasik di negara-negara blok Soviet dan pecahannya. Ia rutin memberikan kuliah di Amerika Serikat dan Eropa mengenai pilihan public, individualisme dan masyarakat sipil, serta landasan legal dan moral hak-hak individu.
KP.VI.00001 | KP.VI.PAL g | My Library | Available |
No other version available