Text
Hak asasi manusia dalam pusaran politik transaksional
Sejalan dengan agenda demokratisasi di Indonesia pasca-1998, kesadaran bahwa hak asasi manusia merupakan elemen yang tak terpisahkan dari demokrasi semakin meluas. Penghormatan hak asasi merupakan prasyarat mutlak terbentuknya tata kelola pemerintahan yang demokratis. Jaminan penghormatan dan perlindungan hak asasi tiap warga negara memungkinkan warga memperolah perlindungan atas kebebasan sipilnya. Dengan demikian, warga dapat berkontribusi sepenuhnya dalam mewujudkan demokrasi, baik melalui partisipasi politik secara bebas, keluasan berorganisasi, berpikir dan berpendapat, serta menempatkannya setara di hadapan hukum. Paska bergulirnya transisi politik tahun 1998, institusionalisasi Hak Asasi Manusia berlangsung dengan cepat baik melalui adopsi langsung norma hak asasi manusia ke dalam peraturan perundang-undangan nasional seperti tampak pada perubahan kedua UUD 1945 dan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, maupun melalui proses ratifikasi. Sejauh ini, Indonesia telah menjadi negara pihak dari 7 konvensi utama HAM, termasuk yang terakhir diratifikasi adalah Konvensi mengenai Hak Penyandang Disabilitas di tahun 2011.
Pengadopsian standar hak asasi manusia tersebut secara inherenmenempatkan negara sebagai pengampu kewajiban yang mencakup penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak. Realisasi kewajiban negara atas HAM setidaknya membutuhkan tiga pilar utama, pertama, kebijakan sebagai kerangka normatif, penganggaran yang terkait dengan alokasi sumber daya negara, dan justiciabilitas hak, yang ditopang melalui fungsi peradilan. Dengan demikian terlihat bahwa dua pilar utama berada di cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif. Kemajuan progresif pemenuhan hak asasi, dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari kemampuan lembaga legislatif untuk menempatkan HAM sebagai pilar utama pelaksanaan fungsi dan kewenangannya. Dengan bergesernya pendulum keseimbangan kekuasaan pemerintah kearah heavy legislativebody semenjak reformasi 1998, tak dapat dipungkiri DPR memegang perang yang semakin penting dalam upaya promosi, proteksi, dan realisasi pelaksanaan hak asasi manusia (HAM). Keberhasilan amandemen UUD 1945, yang menjadi bagian penting konsolidasi demokrasi Indonesia pasca-rezim otoritarian, makin memperkukuh posisi dan kewenangan DPR. UUD 1945 sebagai highest-norm dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, memberikan kewenangan kepada DPR dalam pembentukan undang-undang (legislation), penganggaran (budgeting), dan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang sekaligus kinerja eksekutif (monitoring). Selain itu kewenangan untuk mengusulkan pemakzulan (impeachment) presiden menguatkan posisi lembaga legislatif.
KP 1.00057 | KP.1 SAP h | My Library | Available |
No other version available