Text
Asia Calling Forum : Islam dan Demokrasi di Aia Selatan
Wacana demokrasi terus bergulir, ia pun seakan menjadi “juru selamat” bagi ketidakberdayaan rakyat yang tereksploitasi oleh rezim yang totaliter dan represif. Demokrasi tidak hanya menjadi wacana kademis, tetapi juga simbol dari sebuah sistem pemerintahan, termasuk ketika terjadi tragedi kemanusiaan yang menimpa gedung kembar WTC dan Pentagon, 11 September 2001 lalu. Menurut presiden George W. Bush, tragedi tersebut dianggap sebagai upaya penghancuran demokrasi. Karena ia menganggap bahwa Amerikalah representasi negara demokrasi di dunia. Dengan demikian, siapa pun yang mencoba mengganggu dan apalagi berani menghancurkan Amerika, berarti mereka penentang demokrasi yang harus dilawan dan dibasmi. Tanpa demokrasi memang, suatu rezim --sekuat apa pun—sulit untuk memperoleh legitimasi dari rakyat, bila hal ini terjadi maka sebuah negara tak akan mampu menggerakkan roda pemerintahannya. Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi,
seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst. Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah. Secara normatif, Islam juga menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera. Nah, bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas empirik demokrasi di negara-negara Muslim? Benarkah Samuel Huntington dan F. Fukuyama yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi dalam perspektif Islam dan implementasinya dalam pemerintahan Islam.
KP XV.000112 | KP XV IND i | My Library | Available |
No other version available