Text
Jurnal perempuan 60 : Awas! Perda Diskriminatif
Ketika membicarakan “Syariat Islam”, di dalam Jurnal Perempuan kali ini sebenarnya tidak benar-benar sedang membicarakan Islam. Ketika kata-kata “Peraturan Daerah” diletakkan di depannya, yang sedang dibicarakan sesungguhnya adalah tema tentang politik dan kekuasaan. Kebetulan yang menjadi label disini adalah Islam, yang sebetulnya bila dimaknai lebih jauh, lebih tepat diistilahkan dengan “Peraturan Daerah yang Diskriminatif”. Bukan atas nama agamanya, melainkan peraturan yang “menyeragamkan” dimana simbol-simbol tertentu berlaku bagi semua kalangan yang berbeda-beda.
Fenomena penyeragaman melalui simbol-simbol agama ini seperti yang terjadi di Arab, ada pernyataan bagus yang ditulis oleh Fatima Mernissi, seorang feminis dari Maroko mengenai “mengapa mereka melakukan itu?” (ini berkaitan dengan tema perda syariat) dalam bukunya Islam dan Antologi Ketakutan Demokrasi yang menyatakan “seperti ketakutan orang Arab terhadap demokrasi, sebenarnya tidaklah sebesar penderitaan mereka karena lemahnya akses terhadap kemajuan paling penting abad ini, khususnya toleransi –sebagai prinsip dan praktik.” Sama dengan Indonesia yang juga negara Dunia Ketiga, penderitaan masyarakat Indonesia terutama di daerah-daerah adalah penderitaan terhadap masalah-masalah bangsa atas kemiskinan, kekurangan akses pendidikan, atau ketiadaan akses terhadap kemajuan yang berakibat pada penurunan kesadaran tentang identitas kebudayaan bangsanya sendiri.
Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 ternyata kehilangan roh “toleransi” yang sebetulnya ini adalah ukuran kedewasaan sebuah negara. Hilangnya roh toleransi ini dilihat dari bagaimana masyarakat kebanyakan tidak bisa berbuat banyak atas peraturan daerah yang menggunakan simbol agama tertentu. Simbol agama menjadi jalan pintas buat mereka di tengah segala keruwetan ekonomi-sosial. Bahwa agama adalah jawaban untuk memberikan kedamaian dan kebaikan. Fenomena penyeragaman melalui simbol-simbol agama ini seperti yang terjadi di Arab, ada pernyataan bagus yang ditulis oleh Fatima Mernissi, seorang feminis dari Maroko mengenai “mengapa mereka melakukan itu?” (ini berkaitan dengan tema perda syariat) dalam bukunya Islam dan Antologi Ketakutan Demokrasi yang menyatakan “seperti ketakutan orang Arab terhadap demokrasi, sebenarnya tidaklah sebesar penderitaan mereka karena lemahnya akses terhadap kemajuan paling penting abad ini, khususnya toleransi –sebagai prinsip dan praktik.” Sama dengan Indonesia yang juga negara Dunia Ketiga, penderitaan masyarakat Indonesia terutama di daerah-daerah adalah penderitaan terhadap masalah-masalah bangsa atas kemiskinan, kekurangan akses pendidikan, atau ketiadaan akses terhadap kemajuan yang berakibat pada penurunan kesadaran tentang identitas kebudayaan bangsanya sendiri. Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 ternyata kehilangan roh “toleransi” yang sebetulnya ini adalah ukuran kedewasaan sebuah negara. Hilangnya roh toleransi ini dilihat dari bagaimana masyarakat kebanyakan tidak bisa berbuat banyak atas peraturan daerah yang menggunakan simbol agama tertentu. Simbol agama menjadi jalan pintas buat mereka di tengah segala keruwetan ekonomi-sosial. Bahwa
KP XVIII.000035 | KP XVIII.JUR a | My Library | Available |
No other version available