Text
Nasib para soekarnois : kisah penculikan gubernur bali, sutedja, 1966
"tidak ditemukan fakta hukum yang membuktikan keterlibatan Gubernur Bali,Anak Agung Bagus Sutedja di dalam Partai Komunis Indonesia",demikian garis besar surat keterangan kepala pelaksana penguasa Perang Daerah ( Peperalda) tingkat I Bali,kol( Purn) gusti Putu Raka,Nomor 351/1372/DPRD,tanggal 1 September 1989. Gubernur Bali,Anak agung Bagus Sutedja,merupakan salah satu dari 7 gubernur Soekarnois atau pendukung setia Presiden Soekarno yang di tuding sepihak terlibat PKI. Selama tiga dasawarsa,Keluarga Besar Puri Agung Negara djembrana'dipaksa'menaggung stigma terlibat PKI.Ini akibat pada tahun 1982,dinas sejarah Tentara Nasional Indonesia angkatan Darat ( TNI-AD) menerbitkan buku berjudul"Pemberontakan Gerakan 30 September 1965/PKI dan penuntasannya", dimana sepihak menuding Gubernur Bali,Anak Agung Bagus Sutedja terlibat PKI. Perseteruan politik antar dua kubu terjadi baik di internal PNI maupun dalam konstelasi politik Bali. Kebijakan politik Sutedja sejatinya menginginkan persatuan semua kekuatan politik di Bali dengan tidak memihak pada satupun partai politik (termasuk PNI) serta menjaga ‘keseimbangan’ diantara seluruh elemen. Dalam hal ini, ia serupa dengan kebijakan yang dijalankan panutan politiknya ditingkat pusat, Bung Karno.
Alhasil, Sutedja tidak terlalu akrab dengan kekuatan mainstream di PNI. Hal ini dimanfaatkan oleh kubu Mantik yang berhasil menguasai jaringan internal PNI, terutama kalangan elite nya. Karena itu, PNI ‘mainstream’ di Bali mulai melakukan ‘perlawanan’ politik terhadap berbagai kebijakan Sutedja. Konflik politik ini semakin ‘seru’ tatkala kompetisi antar berbagai kekuatan politik di tingkat pusat juga mewarnai dinamika politik di Bali. Polarisasi antara kekuatan ‘kiri’ yang terdiri dari kelompok Soekarnois (PNI Kiri) dan Komunis (PKI) dengan kubu ‘kanan’ yang direpresentasikan militer (TNI-AD), PNI Konservatif, Islamis serta sos-dem juga ‘menular’ ke wilayah Bali. Setelah kehilangan dukungan dari kalangan elite PNI, Sutedja pun meraih dukungan politik dari PKI Bali yang anggotanya kebanyakan buruh tani dan warga Tionghoa. Konstituen PKI ini juga kebanyakan berasal dari kasta waisya (pedagang) dan sudra (kaum miskin). Sedangkan kubu Mantik didukung oleh PNI mainstream di Bali yang kebanyakan konservatif dan berasal dari kalangan ningrat atau ‘ksatria’ serta kaum Islam di Bali yang sebagian besar berafiliasi pada NU. Pasca Oktober 1965, kubu Mantik inilah yang bersinergi dengan militer (RPKAD) untuk mengorganisir milisi Tameng guna membunuhi para anggota dan simpatisan PKI di Bali. Bara konflik tersebut benar-benar meledak setelah Jakarta diguncang tragedi Gestok yang menewaskan beberapa orang Jenderal TNI-AD. Bali pun turut diguncang pembantaian mengerikan dengan korban tewas puluhan ribu orang yang dianggap anggota PKI. Soe Hok Gie memperkirakan korban yang tewas akibat pembantaian Bali tersebut menurut prediksi yang paling konservatif saja sebanyak 80.000 jiwa (Bentang, 1995). Situasi yang makin memanas itu berdampak pada keluarga Sutedja. Puri Agung Negara di Jembrana milik keluarga besar Sutedja tak luput dari amuk massa ‘anti-komunis’. Sutedja dan keluarganya digolongkan sebagai pendukung PKI, padahal realitasnya Sutedja adalah seorang Soekarnois dan tak pernah menjadi anggota PKI. Amuk massa yang berbuah perusakan dan pembakaran di Puri Agung Negara menimbulkan luka mendalam dalam jiwa tiap anggota keluarga Sutedja. Betapa tidak, aksi massa itu juga menewaskan belasan anggota keluarga Puri Agung Jembrana. Akibatnya, Bung Karno memerintahkan Sutedja sekeluarga untuk hijrah sementara ke Jakarta di bulan Desember 1965.
KP.V.8-00024 | KP.V.7 AJU N | My Library | Available |
No other version available