Text
Konflik komunal di indonesia saat ini
Yang pertama terjadi di kabupaten Sambas. Kalimantan Barat. Itu terjadi pada bulan Januari dan Februari 1997. Koran-koran memberitakan bahwa penduduk asli dayak mulai menyerang pendatang Madura di rumah-rumah mereka di kota kecil sanggau ledo, kemudian bergerak ke kota-kota kecil di sekitar kabupaten itu, sehingga membuat puluhan ribu orang lari menyelamatkan diri. Masyarakat Indonesia tersentak. Kekerasan kolektif antar warga Indonesia mengenai identitas komunal belum pernah terjadi sebelumnya. Atau lebih tepat lagi, hal itu tidak membekas dalam kesadaran public sampai sehebat itu, sebab pada bulan-bulan sebelumnya telah terjadi huru-hara dengan sasaran orang-orang Kristen dan cina di jawa. Yang satu ini terjadi dengan skala yang jauh lebih besar. Kekerasan sepihak itu berlangsung selama berminggu-minggu, dan merambah sampai ke beberapa kabupaten.
Pertumpahan darah itu sendiri sudah sangat meresahkan, tetapi ada hal yang lebih menggelisahkan. Kejadian itu sangat tidak terduga. Hal itu membuat rata-rata pikiran masyarakat Indonesia terperangah, karena mereka tidak memiliki penjelasan sama sekali. Masyarakat Indonesia sudah lama mengenal kekerasan di tiga tempat yang terpencil di Negeri mereka, aceh, papua dan timor timur. Meskipun sebagian besar tertutup bagi para wartawan, masyarakat tahu bahwa sentiment pemisahan diri menjadi pendorong gerakan resistensi gerilya di sana, dan bahwa militer Indonesia telah membunuh banyak orang dalam operasi-operasi penumpasan pemberontakan tersebut. Negara sebagai sumber kekerasan: ini mudah dipahami bagi pejabat-pejabat rezim maupun para aktivis hak-hak asasi manusia.
Dua tahun setelah peristiwa Sambas, pecah pertempuran antara orang-orang muslim dan orang Kristen di Ambon, pusat urban terbesar di timur makasar. Ini jauh lebih menyakitkan bagi public Indonesia. Dahulu Ambon adalah kota pelabuhan yang ramai dan tidak dapat dibayangkan berubah menjadi medan pertempuran. Terlebih lagi, ini adalah era Reformasi. Presiden Soeharto telah mengundurkan diri pada bulan mei sebelumnya di tengah-tengah demonstrasi besar-besaran. Hari demi hari dipenuhi dengan pembaharuan-pembaharuan di setiap sector. Peristiwa Ambon adalah pukulan terberat bagi optimism yang mengikuti berakhirnya Orde baru yang otoriter. Peristiwa itu juga bukan disebabkan oleh sesuatu kebudayaan kesukuan yang primitive. Sebagaimana banyak orang ibu kota memandang orang-orang Dayak dengan perasaan benci, melainkan melibatkan dua agama yang sama-sama di anut oleh masyarakat Indonesia. Meskipun begitu, kolom-kolom opini tidak menyodorkan banyak jawaban yang demokratis, meskipun opini-opini yang tidak demokratis tumbuh menjamur dalam pers sectarian.
KP.VI.1-00003 | KP.VI.1 SUA K | My Library | Available |
No other version available