Text
Jurnal perempuan 54 : Merayakan Keberagaman
Data yang direkam oleh The Wahid Institute, menunjukkan angka kekerasan atas nama agama di Indonesia yang terus meningkat, di tahun 2005 ada sebanyak 25 kasus, tahun 2006: 35 kasus, dan tahun 2007 pertengahan ini saja sudah mencapai 20 kasus, angka ini dikhawatirkan terus meningkat seiring dengan mengentalnya nilainilai fundamentalisme belakangan ini. Bagaimana lalu posisi perempuan dalam kondisi sosial yang didominasi gerakan anti keberagaman ini? Perempuan biasanya dimobilisasi untuk menyukseskan gerakan dan menjadi instrumen demi terwujudnya sistem sosial yang diidam-idamkan. Karena kaum fundamentalis umumnya memakai pendekatan moralitas lengkap dengan perangkat patriarkisnya, maka lalu perempuan sebagai pihak yang tersubordinat biasanya hanya menjadi objek keinginan para lakilaki: untuk membungkam, untuk berpoligami, untuk menjadikan perempuan sebagai objek seksual yang lalu bisa dilupakan begitu saja, dan menjadi mesin produksi anak demi mendapatkan hulubalang sebanyak-banyaknya yang kelak akan mengabdi pada ideologi. Dalam berbagai kasus kekerasan berbau SARA, perempuan biasanya menjadi sasaran kekerasan berbasis gender. Dan ini terjadi di Jakarta, medio Mei 1998, juga di wilayah-wilayah konflik lainnya seperti Aceh, Poso, Ambon, Timorleste dan Papua. Mereka umumnya diperkosa, mengalami pelecehan seksual dan diabaikan hak-hak reproduksinya. Bahkan hingga ke persoalan baju yang harus dikenakan, perempuan menjadi objek kebijakan publik. Dan ini menjadikan hidup perempuan semakin sesak dengan kewajiban-kewajiban: wajib karena itu lalu menjadi hukum formal di berbagai pemerintah tingkat lokal. Dalam sikap anti keberagaman, seluruh hidup perempuan hanya tersisa kewajiban dan kewajiban, tubuhnyapun kini bukan lagi miliknya. • Prolog • 4 5 • Prolog • Jurnal Perempuan 54 Bahkan untuk menjaga moralitasnya, keperawanan seorang anak perempuan boleh diusut oleh bupati, ini yang terjadi di Indramayu. Dan bukan main-main 3000an anak perempuan murid sekolah yang akan diperiksa keperawanannya! Tidak pernah sebersitpun dalam benak pak Bupati untuk memeriksa keperjakaan. Kalau sudah seperti ini, konvensi internasional tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan yang sudah diratifikasi sendiri oleh Indonesia, seolah hadir di ruang hampa. Hanya perempuan sendiri yang mampu menyuarakan protesnya, protes didefinisikan dalam kerangka berpikir laki-laki, menolak diperlakukan diskriminatif, menolak dijadikan garda moralitas, dan mempromosikan perbedaan. Sekarang adalah saatnya untuk melawan dan menolak penyeragaman! Dan perempuan memang punya potensi yang sangat besar untuk menjaga keberagaman, sedangkan laki-laki cenderung berpikir monolistis. Lihatlah bagaimana perempuan Ambon saling berpelukan sambil berangkat ke pasar bersama, sementara laki-laki tetap sibuk saling membunuh.
KP.XVIII.000029 | KP XVIII JUR m | My Library | Available |
KP XVIII.000029-01 | KP XVIII JUR m | My Library | Available |
No other version available