Text
Rohingnya : Suara etnis yang tidak boleh bersuara
Menulis tentang Rohingya adalah suatu kewajiban sejarah. Karena, etnis minoritas Myanmar yang tertindas berpuluh-puluh tahun di negerinya sendiri ini disebut oleh Medicine Sans Frontiers (MSF) sebagai “one of the ten world populations in danger of existence and survival.” Alias satu dari populasi masyarakat dunia yang terancam eksistensinya. Human Rights Watch, organisasi internasional yang bergerak di bidang HAM, secara tegas menyebut dalam laporannya pada April 2013 bahwa Myanmar telah melanggar HAM dengan melakukan kampanye pembersihan etnis Rohingya, utamanya pada tahun 2012. Sebegitu serius kasus etnis yang dikenal sebagai ‘stateless and forgotten people’ ini, namun ternyata tidak banyak warga dunia yang akrab dengan isu ini. Sama halnya dengan di Indonesia. Warga di negeri muslim terbesar di dunia ini banyak yang baru terbuka mata dan telinganya ketika mendengar dan membaca ribuan etnis Rohingya terdampar di Aceh dan Sumatera Utara sebagai manusia perahu (boat people) sejak tahun 2008. Dapat dikatakan, ‘popularitas’ Rohingya sebagai etnis tertindas kalah jauh apabila dibandingkan dengan warga terdiskriminasi lainnya seperti orang Palestina, Kurdi, Gypsy, Armenia, dan lain-lain. Sejatinya, Rohingya adalah nama kelompok etnis yang tinggal di negara bagian Arakan/ Rakhine sejak abad ke 7 Masehi (788 M). Ada beberapa versi tentang asal kata “Rohingya”. Rohingya berasal dari kata “Rohan” atau “Rohang”, nama kuno dari “Arakan”. Sehingga orang yang mendiaminya disebut “Rohingya”. Versi lain menyebutkan bahwa istilah “Rohingya” disematkan oleh peneliti Inggris Francis Hamilton pada abad 18 kepada penduduk muslim yang tinggal di Arakan. Etnis Rohingya bukanlah orang Bangladesh ataupun etnis Bengali. ‘Rohingya’ adalah ‘Rohingya’. Nenek moyang Rohingya adalah berasal dari campuran Arab, Turk, Persian, Afghan, Bengali, Moors, Mughal, Pathans, Maghs, Chakmas, Dutch, Portuguese dan Indo-Mongoloid. Banyak dari orang Rohingya yang merupakan keturunan campuran dari orang Arab dan warga lokal. Sehingga ketika itu nama ‘Rohan” adalah cukup populer di kalangan para musafir Arab, bahkan jauh sebelum Islam masuk ke Arakan. Arakan sendiri adalah nama kerajaan Bengal di sisi timur daerah yang kini bagian dari Bangladesh yang eksis sejak abad ke 8 Masehi. Kerajaan Arakan sebelum bergabung dengan Union of Myanmar pada 1948 berturut-turut dikuasai oleh kerajaan Hindu, kerajaan Islam (pada abad 15-18), dan Buddhist. Saat ini Arakan adalah negara bagian dari Union of Myanmar yang terletak di sisi arat laut Myanmar berbatasan dengan Bangladesh. Nama Arakan berubah menjadi “Rakhine” pada tahun 1930 dan belakangan disebut juga “Rakhaing.” Nama “Rakhine” merujuk pada etnis Rakhine Buddhist (Moghs), sehingga istilah “Rakhine” sejatinya tidak mewakili etnis Rohingya yang mayoritas beragama Islam. Populasi orang Rohingya saat ini diprediksi sekitar 1.5 juta – 3 juta jiwa. Dimana 800.000-an tinggal di Arakan dan sisanya menyebar di banyak negara. Jumlah tersebut semakin lama semakin berkurang karena banyak orang Rohingya yang mengungsi dan mencari suaka ke negeri seberang dengan menjadi ‘manusia perahu’. Sedangkan,mereka yang bertahan di Arakan tidak sedikit yang menjadi korban ‘pembersihan etnis’.
KP.VI.4.00002 | KP.VI.4 SUS r | My Library | Available |
No other version available