Text
Feminisme Mengubah Masyarakat-Strategi Pembebasan Perempuan dalam Revolusi Bolivarian Venezuela
Berada di tengah-tengah sebuah transformasi sosial yang sangat berharga dimana diskriminasi,prasangka dan ketidakadilan thd perempuan berada di garis depan.Revolusi sudah mengakui perempuan sbg mahluk manusia,tetapi belum bisa dikatakan bahwa kita sudah menghapuskan diskriminasi thd perempuan di dalam masyarakat atau bahkan di dalam pikiran perempuan itu sendiri. Tulisan ini akan menjelaskan mengenai revolusi Bolivarian, bagaimana peran serta dan perjuangan perempuan dalam revolusi tersebut. Revolusi Bolivarian adalah suatu revolusi dimana rakyat berperan aktif dalam bidang politik dan beriusaha untuk mengubah nasibnya ditangan mereka sendiri dan mengubah tatanan masyrakat dari bahwa. Hugo Chavez sebagai pemimpin revolusi, mendasari politik dan pemerintahannya berdasarkan cita-cita dan prinsip dari Simon Bollivar, seorang tokoh nasionaalis yang anti penjajahan Spanyol, yang dikagumi rakyat negara-negara Amerika Latin. Oleh Hugo Chavez garis politik yang diinspirasi oleh gagasan-gagasan besar Simon Bolivar itu kemudian dikembangkan jadi garis revolusioner untuk mengubah negeri, pemerintahan dan masyarakat Venezuela. Revolusi Bolivarian ini disebut juga sosialisme Bolivarian, atau sosialisme revolusioner dan demokratik, atau sosialisme partisipatif, yang kemudian juga dinamakan sosialisme abad ke-21.
Sejak bulan Januari 2005 presiden Hugo Chavez melancarkan “perang” terghadap ‘latifundia” (pemilikan tanah secara luas sekali). Sebab, menurut angka-angka resmi, 5% dari penduduk Venezuela (kebanyakan berkulit putih) memiliki 80% luas tanah, baik yang di perkotaan maupun pedesaan dan pertanian. Kampanye Hugo Chavez untuk masalah ini berselogan : “Pembebasan untuk tanah dan manusia. Lawan latifundia!”. Ia juga berkali-kali menyatakan bahwa: “Perang terhadap latifundia ini adalah isi pokok dari revolusi Bolivarian. Revolusi yang tidak memperbaiki pemilikan tanah, yang tidak memberikan tanah untuk petani, tidak memberikan tanah kepada yang mengerjakan, tidak bisa menamakan diri lagi revolusi” kata Hugo Chavez.
Selama beberapa dekade terakhir, berbagai pemerintahan, baik di negari-negeri maju maupun berkembang, dengan setengah hati mengatasi persoalan ketidaksetaraan gender yang menyejarah dengan memfokuskan pada perumusan peraturan-peraturan yang bertujuan untuk memajukan partisipasi kaum perempuan di dalam pemerintahan; menjalankan kebijakan afirmatif; serta merancang dan meloloskan peraturan yang sensitif gender. Sejauh ini, perubahan legal dan institusional tersebut, meskipun memang diperlukan guna meletakkan landasan bagi transformasi masyarakat, hanyalah merupakan langkah pembuka. Sudah semakin jelas, terkait dengan penerimaan umum terhadap sebuah fenomena kuno yang disebut sebagai “feminisasi kemiskinan” belum lama ini, bahwa upaya-upaya tersebut harus diperluas. Jalan keluar persoalan tersebut menghendaki penggunaan sebuah pendekatan yang menyeluruh berdasarkan pada berbagai strategi sosial dan ekonomi—tak cukup sekedar jawaban politis ala tambal sulam legislatif.
Gerakan Feminisme ( Perempuan ) dalam Revolusi Bolivarian
Revolusi Bolivarian bukan hanya bergerak dalam bidang politik dan sosial kemasyarakatan. Revolusi Bolivarian juag telah berhasil meningkatkan hak-hak kaum wanita di Venezuela. Sebelumnya, meskipun Konstitusi 1960 menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki secara formal setara di muka hukum, namun kaum perempuan yang selama ini aktif dalam perjuangan demokrasi merasa tak memiliki hak-hak khusus, bahkan disingkirkan dari politik. Selain hambatan-hambatan organisasional, kaum perempuan Venezuela juga dihambat oleh sanksi, hukum perdata, dan ketenagakerjaan. Kaum perempuan yg hidup bersama dan sudah menikah tidak diperbolehkan mengatur urusannya sendiri; membuat keputusan bagi anak-anaknya; bekerja, memiliki harta; atau menandatangani dokumen resmi tanpa persetujuan pendamping.
Sejak kaum perempuan Venezuela memulai misi kesetaraan gender, mereka menghadapi seragkaian hambatan politik, ekonomi, dan sosial. Berbagai upaya mengorganisir gerakan perempuan lintas klas terhambat oleh persaingan antar para partisan partai politik yang dominan di Republik ke Empatvii, yaitu: Partai sosial demokrat (Acción Democrática) dan Partai Kristen Demokrat (COPEI). Belum lagi tradisi maskulinisme (machismo) yang kuat bercampur dengan hukum-hukum pidana, perdata dan perburuhan yang diskriminatif yang menghambat berbagai upaya untuk lebih jauh dari sekedar jaminan hak suara (legal enfranchisement) dan untuk menciptakan suatu demokrasi gender yang menyeluruh bagi kaum perempuan. Perubahan iklim internasional yang mendukung feminisme, serta pendapatan fiskal yang bertambah tiga kali lipat antara tahun 1972 dan 1975 terkait dengan booming minyak Venezuela, memberikan sumbangan bagi pembentukan sebuah lembaga kenegaraan bagi kaum perempuan, serta lolosnya sejumlah langkah hukum yang menguntungkan perempuan. Namun, selain kemajuan hukum yang substansial ini—dalam hal pembuatan dan penerapan berbagai hukum dan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan kepedulian terhadap isu-isu perempuan—ketimpangan gender sejauh ini hanya ditangani di permukaan saja. Kaum perempuan Venezuela tetap tersingkir secara politik; dieksploitasi secara ekonomi; dan sedikit berperan, jikalau pun menyumbang kemajuan, dalam mentransformasi norma-norma sosial.
Dengan berkuasanya Chávez tahun 1998, Venezuela menghancurkan tatanan demokrasi lamanya untuk menciptakan suatu masyarakat yang lebih demokratik dimana hak-hak warganegara diakui lebih dari sekedar politis. Gagasan Bolivarian telah mengabdikan dirinya untuk menganalisa, baik penyebab-penyebab yang sudah begitu jauh menghalangi pembangunan suatu masyarakat berlandaskan keadilan sosial dan kesetaraan, maupun untuk berjuang menemukan sebuah solusi yang masuk akal yang mampu mengatasi keruwetan sosial dan perekonomian negeri. Melanjutkan cita-cita ini, metode pendekatan sejumlah persoalan di dalam masyarakat, termasuk kemiskinan kaum perempuan, tidak lagi terpusat pada perundang-undangan semata, tapi juga pada solusi-solusi lain yang nyataix. Sementara keberhasilan dari berbagai upaya ini harus tetap benar-benar terukur, yang pasti bahwa, perundang-undangan saja tidak mampu untuk memberantas kemiskinan.
KP.II-00171 | INT.VII.45 KAL f | My Library | Available |
No other version available