Text
Militerisme di Indonesia Untuk Pemula
Penembakan terhadap empat tahanan di penjara Cebongan, 23 Maret 2013, oleh Komando Pasukan Khusus—elit tempur Tentara Nasional Indonesia—telah menggiring pendapat publik untuk menyetujui tindakan tersebut. Dalihnya, latarbelakang para tahanan adalah preman; dus, dengan membunuhnya bisa menjamin “rasa aman” masyarakat. Alih-alih mengecam aksi pembunuhan sewenang-wenang terhadap warga sipil, bahkan Presiden Yudhoyono memuji para pelaku sebagai “ksatria.” Kampanye positif atas insiden itu digalang melalui penyebaran spanduk di titik-titik strategis dan aksi simbolik di landmark Tugu oleh kelompok yang mengklaim “masyarakat Yogyakarta”. Ia menyampingkan supremasi hukum—isu krusial yang jadi pokok perhatian dari apa yang diupayakan masyarakat sipil pro-demokrasi sesudah kekuasaan sewenang-wenang pemerintahan Soeharto.
Keterlibatan militer Indonesia dalam pelanggaran terhadap kemanusiaan berjejak seluas negara kepulauan ini. Dari Aceh hingga Papua, dari Lampung hingga Borneo, dari Jawa hingga Maluku maupun Timor-Leste. Pada peristiwa pembersihan kaum kiri di Indonesia, pada 1965-1966, milisi sipil dibekingi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (cikal-bakal Kopassus) diduga membunuh 500 ribu hingga 3 juta warga sipil. Selama tiga dekade pemerintahan Orde Baru, militer adalah alat negara yang dipakai untuk membungkam kritisisme dan ekspresi politik damai. Klik militer dan sipil, yang membentuk kelompok preman, milisi maupun paramiliter, digunakan dalam aksi-aksi penyiksaan, penculikan dan penghilangan paksa, serta pembunuhan. Pasca-1998, seiring lengsernya Soeharto, reformasi militer adalah tuntutan masyarakat sipil agar tentara menarik diri dari keterlibatan bisnis dan kembali ke barak.
KP.XXI.000240 | KP XXI TIW m | My Library (Perpustakaan) | Available |
No other version available