Text
Perempuan Makasar Relasi gender dalam Folklor
Penggunaan bahasa dalam sebuah masyarakat mencerminkan realitas sosial budaya masyarakat tersebut pada zaman. Bahasa dengan berbagai aspeknya dapat berfungsi mengungkap representasi bentuk bentuk jender dalam budaya yang terkemas melalui ungkap. Perempuan dan laki-laki pada hakikatnya mempunyai status yang sama dalam suatu masyarakat, yang membedakan adalah fungsi dan peran yang diembang untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, perempuan kadang-kadang harus menjadi mahluk domestik karena tuntutan kehidupan yang lambat laun mendapat justifikasi dari masyarakat sebagai mahluk kelas dua (second sex). Hal inilah yang selanjutnya melahirkan gerakan feminisme dengan berbagai bentuk dan tuntutan, yang ingin membebeskan perempuan dari keterkungkungan domestikasi
Suku Makassar merupakan salah satu etnik di Sulawesi Selatan yang mempunyai keunikan dari segi bahasa maupun budaya termasuk dinamika kehidupan perempuan dan laki-laki yang jejaknya dapat di telusuri sampai saat ini. Pada zaman dahulu masyarakat Makassar sudah memberikan kepada perempuan hak dan kewajiban serta kesempatan akses dan kontrol (pendididkan, ekonomi, sosial, politik). Perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan dan hak yang sama, serta senantiasa saling menghargai, bekerja sama untuk sebuah keberhasilan secara proposional, serta memperlihatkan hubungan yang lebih bersifat egaliter.
Budaya Makassar memosisikan perempuan pada posisi yang terhormat berdasarkan ungkapan-ungkapan yang di gunakan, kepada perempuan khususnya dalam peran sebagai ibu. Posisi ibu tampaknya menempati kedudukan yang sangat terhormat dalam konteks makassar, untuk mengacu kepada ibu dalam BM biasanya di gunakan dua kata, yaitu ammaq dan annrongq, kata ammaq penggunaanya terbatas yaitu hanya pada ibu yang mengacu pada manusia yang biasanya bermakna denotatif. Tetapi kalau annrong penggunaanya lebih luas karena bisa di gunakan untuk ibu manusia juga bisa berarti pada induk hewan atau serangga, dan biasanya di gunakan untuk ungkapan yang bermakna konotatif. Pengunaan kata anrong (ibu) yang bermakana denotatif misalnya ungkapan tersebut seperti anrong lima (ibu jari) yang menyimbolkan peranan ibu fleksibel dan dengan mudah berinteraksi dengan anak-anak (jari-jari) serta seluruh lapisan masyarakatanrong tukak (rangka tangga) menyembolkan peran fungsional ibu sebagai tempat berperang dan bertumpunya anak-anak (seperti anak tangga) untuk menuju keposisi yang lebih tinggi. Ungkapan-ungkapan memperlihatkan bahwa posisi perempuan sangat terhormat, yaitu posisi sebagai anrong rante yang selalu di gunakan pada bagian depan leher dan di dekat hati si pemakai kalungserta menjadi tumpuan pandangan setiap orang yang melihatnya.
Dalam realitassosial kultural masyarakat Makassar, ibu dianggap sebagai pendidik utama dalam keluarga. Oleh karena itu, jika anak mengalami kesalahan dalam menginternalisasikan nilai-nilai sosial-budaya dalam kehidpanya, maka ungkapan berupa makian bukan mdialamatkan kepada sang anak, tetapi justru kepada sang ibu dengan makna negatif.[5]
Dalam menjalankan kegiatan sehari-hari khususnya peran di wilayah domestik dan wilayah publik, juga di temukan yang memosisikan perempuan dan laki-laki di sulawesi selatan, khususnya di kalangan etnik Bigis Makassar. Di wilayah domestik di temukan ungkapan bahwa domain perempuan seputar rumah, dan domain laki-laki mencapai batas langit, Sedangkan dalam menjalangkan peran publik terdapat kefleksibelan untuk perbedaan tingkah laku gender seperti dalam ungkapan: siapa pun, meskipun seorang laki-laki, yang mempunyai kualitas seperti perempuan adalah seorang perempuan; tetapi meskipun seorang perempuan, mempunyai kualitas seperti laki-laki adalah seorang laki-laki. Aplikasi persial dari prinsip ini ditemukan dalam kesempatan para perempuan dalam konteks sebagai pemimipin perang atau pemimpin politi. Terlihat dari seorang tokoh perempuan yang turut mewarnai sejarah perjuangan kerajaan Gowa melawan belanda yaitu I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya, yang lahir pada tanggal 10 september 1659. Ia adalah putri Sultan Hasanuddin yang digelari oleh seorang penyair Belanda sebagai Garuda dari Timur karena kegigihan dan keahlian dalam hal ilmu bela diri. Fatimah ikut membantu perjuangan melawan Belanda di Banten dengan pasukan elit serta memimpin pasukan bainea (pasukan perempuan) dan bergabung dengan pasukan Syekh Yusuf. Akibat kekalahan pasukan Banten dan pasukan kerajaan Gowa, Fatimah kembali ke Makassar meneruskan perjuangannya melawan Belanda. Dia pun gugur dalam suatu pertempuran sengit melawan Belanda di tanah kelahiranya sendiri, yaitu Gowa.[6]
Peran Gender dalam Konteks Folklor.
KP.II.000261 | KP.II ISW p | My Library | Available |
No other version available