Text
Jurnal perempuan 39 : Pekerja Rumah Tangga
Perdebatan tentang pekerja domestik, baik di barat maupun timur, menjadi sangat menarik, sekaligus kalau bisa dihindari banyak pihak. Beberapa kalangan utamanya pekerja sosial lalu menyimpulkan bahwa memperjuangkan hak-hak pekerja domestik ibarat melakukan silent evasion; diam-diam mengelak. Tahun 1969 Margaret Benston dalam bukunya “The Political Economy for Women” tegas mengingatkan agar sudah saatnya pekerjaan domestik dipikirkan secara lebih serius dalam setiap analisis pekerjaan ekonomi sehingga akhirnya tidak disepelekan menjadi status yang marjinal dan tidak eksis.
Pengabaian bidang kerja pekerja domestik itu memang sudah sejak lama terjadi hingga kini baik di level nasional maupun internasional, bahkan laporan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI berikut menggambarkan kondisi PRT (Pekerja Rumah Tangga) saat ini di Indonesia: sebagian besar PRT adalah perempuan, dengan usia belum dewasa, dalam kondisi buruk, upah rendah, tanpa batas waktu kerja, serta mengalami kekerasan dan penghambaan (domestic slavery). Penegasian eksistensi PRT juga tecermin dalam perjanjian yang disepakati antara kedua belah pihak Indonesia dan Malaysia pada tanggal 10 Mei 2004 lalu yang membahas perlindungan buruh migran, namun ternyata hanya memasukkan pekerja sektor formal. Padahal data menunjukkan bahwa dari 75 % lebih buruh migran Indonesia berjenis kelamin perempuan dan bekerja di sektor informal (rumah tangga). Mereka inilah yang kerap tidak terlindungi hak-haknya, rawan kekerasan dan diperdagangkan. Dalam banyak kasus bahkan dokumen mereka seperti paspor dipegang majikan.
Itu yang terjadi di luar negeri, tapi berbincang soal PRT di Indonesia sendiri tak kalah carut marutnya dan kian merumit karena jarang sekali ada pihak yang benar-benar peduli dengan mereka. Selain pihak pemerintah dan non pemerintah, yang harusnya ikut memperjuangkan hak-hak mereka juga adalah majikan yang mempekerjakan PRT di rumahnya. Masing-masing lalu punya kepentingan untuk mengaman-kan previlege-nya. Itu mengapa pembahasan soal PRT kerap menjadi klise dan bias majikan.
Kultur yang eksis sejak lama yakni feodal kolonial juga membuat kondisi yang kian buruk bagi PRT di Indonesia. Fakta perdagangan budak di abad 19 dan budaya “ngenger” atau numpang hidup terutama dalam tradisi Jawa membuat PRT seolah-olah harus tahu diri dan rela berkorban lebih banyak kepada majikan. Akibatnya banyak hak dasar mereka sebagai pekerja terlanggar. Hak-hak yang dimaksud antara lain: tiadanya MOU di awal yang mengatur semua tugas, hak dan kewajibannya, jam kerja yang panjang, tiadanya perlindungan kerja, kesehatan reproduksi yang diabaikan, tidak diberikannya kebebasan berkumpul, berorganisasi dan mengemukakan pendapat, serta tidak diberikannya waktu istirahat, hari libur dan upah yang rendah.
Mempekerjakan PRT di Indonesia memang amatlah murah. Di Jakarta, tempat terbesar PRT bekerja, adalah contohnya. Meski UMR (Upah Minimun Regional) DKI Jakarta, berkisar Rp. 711.000,- mulai awal tahun 2005 ini, namun, banyak masih memberikan upah kepada PRTnya Rp. 200.000,- tiap bulannya.
Dari faktor usia, hasil perbincangan kami dengan pihak ILO (International Labour Organization), banyak pula negara yang tidak setuju dengan pembatasan usia PRT dikarenakan memang banyak anak perempuan akhirnya terpaksa harus bekerja untuk hidup. PBB lalu menyerahkan keputusan itu kepada negara-negara masing. Dan Indonesia misalnya dalam Perda (Peraturan daerah) DKI Jakarta No.6 tahun 1993 akhirnya mengadopsi prinsip Konvensi ILO nomer 138 tentang minimal usia bekerja adalah 18 tahun. Itu pun masih menjadi grey area karena masih menetapkan bahwa usia minimal PRT adalah 18 tahun atau 15 hingga 18 tahun asal ada surat persetujuan orang tua atau wali.
Fenomena PRT di Indonesia kini tidak mungkin dilepaskan dari kemiskinan struktural dan pendidikan yang rendah, hingga memaksa PRT perempuan bekerja dengan relasi kekuasaan yang timpang dan posisi tawar yang sangat lemah. Sebelum semua persoalan kian berlarut-larut sudah saatnya hak-hak PRT ditegakkan, dan semua orang harus rela dan secara serius melakukannya. Negara dituntut untuk segera meyediakan perlindungan legal bagi PRT, dan kita sendiri juga bisa mulai hal itu dari rumah kita masing-masing. Semua penting dilakukan, agar perbudakan versi baru tidak lagi terjadi.
KP.XVIII.000015 | KP XVIII JUR p | My Library | Available |
KP.XVIII.000015-01 | KP XVIII JUR p | My Library | Available |
No other version available