Text
Tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak: dengan perspektif gender dan difabel
Bagi banyak orang di Indonesia, disabilitas dipandang sebagai persoalan individu semata, akibat dari kondisi tubuh dan pikirannya (Salim, 2016, p. 134). Difabel juga digolongkan menjadi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang terpinggirkan. Cara pandang masyarakat maupun pemerintah yang cenderung mendiskriminasikan penyandang cacat atau disabilitas inilah kemudian berimplikasi besar terhadap kesulitan mereka untuk memperoleh kehidupan yang layak. Akibatnya, para difabel rentan menjadi korban diskriminasi, marginalisasi, dan pengecualian di masyarakat. Istilah difabel, yang pertama kali digagas oleh Mansour Faqih (aktifis gerakan sosial) dan Setya Adi Purwanta (seorang tuna netra), bukanlah serta merta merupakan pengganti dari istilah penyandang cacat. Konsep perbedaan kemampuan atau ‘differently abled’ yang kemudian secara luas, dikenal sebagai difabel (pengindonesiaan dari akronim difabled) adalah ide untuk perubahan konstruksi sosial dalam memahami disabilitas atau yang saat itu dikenal sebagai kecacatan (Salim, 2016, p. 134). Pemaknaan keterbatasan fungsi fisik, dan atau mental, hambatan aktifitas, serta ketidakberuntungan sosial menjadi tiga hal yang memiliki hubungan secara langsung jelas telah mengabaikan faktor individu di luar keterbatasan tersebut (Syafi’ie, Purwanti, & Ali, 2014, p. 35). Selain itu, faktor lingkungan serta interaksi individu dengan lingkungan juga telah nyatanyata turut mengambil bagian dalam melahirkan hambatan bagi para difabel. Manifestasi ketidakadilan yang dilakukan keluarga, masyarakat bahkan negara akhirnya membuahkan pemiskinan pada difabel akibat diskriminasi
KP.IV.000130 | KP.IV TRI t | My Library | Available |
No other version available