Text
Memilih Monogami: pembacaan atas Al-qur'an dan Hadits Nabi
Pertarungan nilai kesenangan seksualitas, permaduan dan keadilan menjadi salah satu problem hermeneutik dalam mengungap pemahaman makna atas ayat ketiga Surat an-Nisa’ yang menjelaskan “diperbolehkan” poligami. Tanpa dipersandingkan dengan kritik hermeneutik dan penggalian asbab al nuzul, penerimaan poligami hanya akan diterapkan secara taken for granted tanpa mengambil nilai kritis ayat ini. Kehadiran buku “Memilih Monogami” bertujuan menggugat ketergesaan penerimaan poligami secara apriori, sementara fakta di lapangan menunjukan meruncingnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang tidak teradvokasi.
Menurut Husein Muhammad dalam pengantarnya, poligami sudah menjadi problem kemanusiaan. Problem ini tidak saja menyangkut peluang kekerasan ekonomi, tetapi juga bisa merambah ke kekerasan seksual, psikis, fisik, dan pengabaian hak-hak anak. Selain fakta sosial, sejarah pembacaan poligami jarang dilihat secara komprehensif dalam menimbang kemaslahatan poligami.
Praktik poligami Nabi lebih mengutamakan aspek keadilan psikologis dan fakta sosial penderitaan perempuan dari pada sebatas fakta seksual seperti takut berbuat zina dengan perempuan lain. Disinilah sebenarnya ayat 3 surat an-Nisa’ mengambil konteks. Dan ketika keadilan psikologis tidak didapat dan fakta sosial tidak terjawab maka poligami tidak memiliki dasar hukum, alias, tidak boleh.
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan fakta subyektifitas perempuan, buku ini kemudian menganulir poligami dan mencari dasar-dasar fiqhiyah dengan mengedepankan pentingnya kehadiran dialektis hati (perasaan/sensifitas psikologis) perempuan dalam menimbang penolakan poligami menuju kesunahan untuk memilih monogami. Pada bab pertama telah dijelaskan bagaimana urgensi membangun dasar penafsiran ayat ketiga Surat An-Nisa’ dengan cara menghidupi pendekatannya menurut konteks psiko-linguistik perempuan. Dengan perspektif psikologi perempuan diharapkan tradisi pemikiran fiqh bisa menemukan, mempertajam, menegaskan argumentasi keadilan dan keberpihakan terhadap ketimpangan praktik poligami. Jika tidak ada alasan unsur kemaslahatan yang pasti terhadap poligami maka dianjurkan (sunnah) memilih monogami (hlm. 37).
Lies Marcoes Natsir dalam pengantar kedua dari buku ini berpendapat, berdasarkan data-data lapangan yang ditemukan dari penelitian, poligami hanya menjadi perangkat dalam membunuh karakter perempuan hingga menciptakan praktik dehumanisasi karena korban telah dibuat tidak berdaya, kehilangan harga diri, dan logika (hlm. xxxix). Fakta sosial yang tidak terjawab seperti ini menjadi pertimbangan untuk menolak praktik poligami.
Untuk itulah maka bab kedua buku ini mengulas bagaimana al-Quran menegaskan monogami. Pembacaan Faqihuddin menolak beberapa cara baca yang memenggal bagian ayat 3 an-Nisa yang dijadikan legitimasi poligami, …fankihu ma thaba lakum min an-nisa matsna wa tsulatsa wa ruba…. Pemenggalan ayat demikian hanya menyebabkan pilihan poligami menjadi tidak bijak, punya keterputusan epistemologi, dan menyembunyikan pembacaan kemaslahatan praktik Nabi tentang tujuan sebenarnya poligami. Ayat ini semestinya dibaca dalam konteks bagaimana poligami Nabi berangkat dari perspektif membebaskan ketertindasan dan melindungi anak yatim yang ditinggal mati orang tuanya, misalnya karena perang dan melindungi mereka dari situasi aniaya serta melindungi perempuan dan anak pasca tragedi perang Uhud yang banyak menelan korban dari kalangan muslimin, terutama orang tua laki-laki.
KP XV.000308 | KP XV KOD m | My Library | Available |
PK00353PerpusKP | GEN 0 297 FAQ m | My Library | Available |
No other version available