Text
Jurnal perempuan 49 : Hukum Kita Sudahkah Melindungi?
Setiap tanggal 25 November masyarakat internasional memperingati hari anti kekerasan terhadap perempuan. Tahun ini Jurnal Perempuan merayakannya dengan mengangkat tema “Program Legislasi Nasional yang Pro Perempuan.” Para filsuf hukum mengatakan bahwa masyarakat harus diikat oleh kontrak sosial untuk tunduk pada hukum yang berlaku sebagai sumber pokok keadilan. Namun kaum feminis percaya bahwa sejarah ditulis dari sudut pandang laki-laki. Ini lalu menyebabkan bias, termasuk dalam struktur hukum yang diciptakan dari nilai-nilai patriarkis. Akibatnya bisa ditebak, di Indonesia yang kulturnya memang masih sangat patriarkis, permasalahan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan hingga kini terus terjadi. Meski telah meratifikasi konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) namun nampaknya pemerintah sendiri tidak secara bersungguh-sungguh menegakkan hukum yang berkeadilan bagi perempuan. Yang terjadi hingga saat ini justru semakin marak bermunculan peraturan daerah (Perda) yang diskriminatif. Tingkat kekerasan berbasis gender seperti perkosaan, dan perdagangan perempuan cenderung meningkat setiap tahunnya. Ini disebabkan Indonesia belum memiliki produk hukum yang memadai untuk menjerat pelaku ataupun membuatnya jera. Belum lagi kasuskasus kekerasan berbasis gender, seperti pelecehan seksual, yang sering terjadi di wilayah-wilayah konflik seperti Aceh, Poso, Ambon dan Papua yang pelakunya tidak ditangkap. Wendy Murphy, seorang pengacara, menggambarkan kondisi ini sebagai “sistemlah yang memfasilitasi kejahatan, karena para pelakunya tidak pernah dihukum.” Jika hal seperti ini terus dibiarkan oleh negara, maka masyarakat akan belajar untuk tidak menghormati hak-hak perempuan
KP.XVIII.000024 | KPXVIII JUR h | My Library | Available |
KP XVIII.000024-01 | KP XVIII JUR h | My Library | Available |
No other version available