Text
Penyempurnaan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Ketentuan Pasal 107 Ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2003 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan, nama calon yang mencapai bilangan pembagi pemilihan (BPP) ditetapkan sebagai calon terpilih. Bila nama calon tidak memenuhi BPP, penetapan calon terpilih didasarkan pada nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan bersangkutan. Dengan penetapan daerah pemilihan seperti yang diterapkan pada Pemilu 2004, patut disangsikan pengenalan konstituen atas anggota parlemen yang mewakilinya. Bukan rahasia jika soal kedekatan dengan pengurus pusat parpol menjadi faktor sangat menentukan dalam penentuan urutan dalam daftar calon. Unsur pengurus pusat pun bisa „ditugaskan“ di daerah pemilihan tertentu yang dianggap basis, terlepas dari apakah calon itu dikenal atau tidak, mengakar atau tidak di mata calon pemilih di daerah pemilihan itu. Akibatnya, ketika hasil pemilu ditetapkan, soal pertanggungjawaban, konsultasi, serapan aspirasi dari konstituen menjadi hal laten yang selalu menimbulkan keraguan: apakah mereka wakil rakyat yang sebenar- benarnya? Dalam menyiapkan revisi UU Pemilu, pemerintah berpandangan sistem pemilu yang tak menghargai dukungan suara konstituen mesti diperbaiki. Sistem proporsional „setengah terbuka“ seperti pada Pemilu 2004 mesti diubah menjadi terbuka penuh. Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) yang terlalu tinggi akhirnya menjadikan calon anggota legislatif terpilih lebih karena nomor urut. Faktanya, dalam Pemilu 2004 hanya dua anggota dari total 550 anggota DPR yang perolehan suaranya melampaui BPP. Karenanya, sebaiknya BPP dibuat relatif memungkinkan untuk dicapai, ranking kandidat ditentukan perolehan suara. Itu dimaksudkan untuk mengembalikan peran sebagai wakil rakyat.
KP.XXI-00101 | KP.XXI CSIS P | My Library | Available |
No other version available